Jika
bukan karena kepalang janji sama Kanzia. Gue kayanya bakal butuh lebih banyak
pertimbangan untuk bikin postingan ini. Haha. Baiklah, post khusus kali ini gue
bakal bikin beda. Sangat berbeda. Ngga kaya post lainnya, kali ini gue bakal
dengan gamblang nyebutin nama-nama orang, tanpa sensor, tanpa nyana, contohnya
kaya kalimat pertama di atas. Dan kalo postingan gue biasanya kurang
bermanfaat, kali ini gue bakal bikin postingan yang sama sekali ngga
bermanfaat. Yaitu Field Report kegiatan hari sabtu kemarin di TMII(Taman Mini
Indonesia Indah). Hiwigoh.
Di
salah satu postingan sebelumnya gue pernah cerita kalo gue adalah salah satu
member grup di aplikasi chat, Line. Grup penggemar salah satu klub sepakbola,
yaitu Arsenal. Kalo dipikir-pikir grup itu cukup aneh, grup online yang
notabene personilnya berjarakkan puluhan sampai ribuan kilometer bisa punya
‘tali’ yang begitu kuat. Kita, udah mengenal satu sama lain, ya walaupun gue
ngga tau gimana mereka di kehidupan yang sebenarnya. Tapi gue lebih dari yakin
kalo gue bisa dengan mudah ngobrol sama mereka saat kita bertemu suatu hari
nanti. Dan intuisi gue biasanya jarang mengecewakan.
Mengingat
sangat hidupnya aktifitas chat di sana, apapun bisa mereka, kita, bahas. Mulai
dari tema pokok yaitu Arsenal bahkan sampai ke curhatan paling kelam sekalipun.
Karena beberapa hal itu sedikit banyak gue jadi bisa membaca karakter mereka
melalui setiap kata, setiap tanda baca, setiap kalimat yang mereka ketik. Di
satu sisi gue bilang grup itu ‘aneh’ karena kadar keaktifannya yang gue berani
taruhan bakal ada di atas rata-rata grup sejenis itu pada umumnya. Tapi di sisi
lain gue sangat salut sama keakrabannya. Keren lah pokoknya.
Okeh
langsung masuk ke hari H aja ya, hari Sabtu, 18 April 2015. Hari dimana gue
menghabiskan waktu, dari pagi buta sampe sore banget, di tempat bernama Taman
Mini Indonesia Indah. Kenapa gue malah cerita kunjungan gue ke TMII di
postingan ini? Karena, ini bukan tentang apa yang gue lakuin disana. Tapi dengan
siapa gue ngelakuin itu. Yes, bener, gue ada disana dengan beberapa nama dan
bentuk fisik nyata dari anggota AHLG.
Gue,
Kanzia, Ryan, dan Zaki. Sedikit dari cukup banyak anggota AHLG yang beruntung
sabtu itu bisa dipertemukan oleh lomba Jelajah Museum yang diadakan pihak TMII.
Sebelum gue ceritain jalan cerita lombanya, karena gue tipe orang yang percaya
sama pepatah;
“Ngga
ada kesempatan kedua untuk mengubah kesan pertama.”, bakal gue kupas dulu apa
yang ada di pikiran gue saat bertemu mereka ya.
Kanzia
Rahman. Bocah 2 SMP yang gue akuin cukup mengagumkan, sulit gue percaya ada
bocah kaya dia di kehidupan gue. Dengan segala yang dia buat di grup. Entah itu
cerita bersambungnya yang luar biasa bagus. Atau bermacam pengetahuan umumnya.
Yang gue sendiri saat seumur dia di kelas 8 mungkin sama sekali ngga kepikiran
tentang semua hal membingungkan yang udah dia kuasain itu. Udah ngebuat
karakter dia cukup kuat, dan dia punya pengaruh di grup. Tapi, ada tapinya
nih. Emang umur gak bisa boong ya, se-Tua apapun dia di grup, saat pertama kali
bertatap muka. Kesan pertama gue buat dia tetep, bocah. Ekspektasi gue terlalu
tinggi sepertinya, jadi terkesan overrated. Hahaha. Gimana yaa, seakan-akan dia
yang di grup itu fiktif. Saat ketemu juga dia ngga banyak ngeluarin kalimat sakti
yang kadang nongol di grup. Bener-bener keyboard warrior sejati. Meskipun gitu
gue percaya, waktu bakal ngebuat dia jadi pribadi yang persis seperti
ekspektasi gue. Bahkan lebih. Itu pasti.
Ryan.
Haha. Gue sedih begitu ngeliat dia pertama kali. Dia manusia dengan tinggi
menjuntai yang bikin gue kesel sendiri tiap jalan di sebelah dia. Dengan
tingginya gue yakin dia bisa dengan mudah ngambil mangga di pohon. Atau emang
dia di desain buat kegiatan itu? Gue gatau deh. Tapi gue jadi mikir, entah
tinggi gue yang kurang memadai atau emang dia yang tingginya di atas rata-rata.
Dalam obrolan grup pun, dia tergolong tipe yang ngikutin arus. Dari yang gue
perhatiin dia bukan orang yang independen saat di grup dan bukan ‘pembeda’.
Tapi tetep pribadi yang baik, sama seperti lainnya.
Zaki.
Diantara kedua orang yang ketemu gue saat itu cuma dia yang gue belum terlalu
‘kenal’ banget. Alesannya karena dia jarang ikut masuk pada saat obrolan grup. Tapi esan
pertama saat ketemu dia gue malah ngerasa sebaliknya. Gue mikir kayanya dia
yang paling nyambung sama gue diantara kedua orang lainnya. Mulai dari obrolan
ampe pikiran. Gue yakin aja akan hal itu. Walaupun gue tau beberapa jam bukan
jadi tolak ukur yang valid atas asumsi gue tersebut.
Well,
gue rasa cukup pengenalan tokohnya. Sekarang lanjut ke agenda gue di TMII.
Gue
mengawali sabtu itu dengan sangat awal, mulai dari bangun pukul 04.00 pagi.
Mandi, makan, mikirin kamu, semua gue lakuin dengan ketelitian waktu yang udah
gue perhitungkan sebelumnya. Gue termasuk sedikit dari orang Indonesia yang
sangat menghargai waktu. Sangat. Gatau kenapa gue paling ngga bisa ngaret,
ataupun ngebiarin orang buat nunggu gue. Kalo disuruh milih, udah pasti gue
lebih milih nungguin orang alias datang duluan daripada ngebuat orang lain
ketar-ketir menanti kehadiran gue. Jangankan nunggu orang, nunggu kamu putus
sama dia pun, aku sanggup, kok, hft.
Setelah
semua siap. Gue langsung aja mengendarai motor menuju ke halte bus. Begitu
kendaraan gue titipin, gue ngelanjutin perjalanan ke sana naek bus.
Skip-skip-skip gue sampe di TKP naek angkot lanjutan. Pukul 06.50 kaki gue udah
mendarat di pintu gerbang utama TMII. Kondisi saat itu rame banget, gile gue
ampe jiper duluan ngeliat banyaknya orang. Yang di pikiran gue saat itu mereka
semua kompetitor gue di lomba. Beruntung perkiraan gue meleset. Pas gue jalan
lebih dalam lagi, terrnyata mereka semua alay Inbox yang saat itu
penyelenggaraan lokasi dan waktunya bertepatan sama tanggal lomba. Fyuh. Tanpa
pikir panjang gue langsung menjauh dari zona tidak aman itu, gue masih sayang
sama mata dan kuping gue soalnya.
Yang
bikin pagi gue makin carut-marut selain banyaknya koloni alay yang memadati
kawasan TMII adalah. Mereka baru pada On The Way. Iya mereka, Kanzia,
Ryan, Zaki. Kurang kampret gimana lagi coba. Gue yang paling jauh rumahnya
bela-belain dateng pagi banget, gue kira mereka atau paling ngga salah satu
dari mereka udah ada disana. Tapi nihil. Mereka malah pada baru jalan dari
rumah. Kalo udah begitu mah ngga ada yang bisa gue lakuin lagi selain, nunggu.
Pukul
07.30 gue udah ada di tempat pendaftaran ulang peserta. Atmosfirnya ngga
seburuk yang gue kira. Para peserta yang gue kira bakal punya aura pembunuh
ternyata cuman ada di pikiran gue doang. Aslinya mah, biasa aja.
Beberapa
menit berselang barulah mereka pada berdatangan. Dimulai dengan Kanzia yang
pertama kali unjuk gigi. Gigi beneran, dia nyengir sumringah gitu pas ngeliat
gue. Lalu disusul Zaki sama Ryan yang dateng bersamaan. Dua orang itu muncul
dengan ketepatan waktu yang sama karena emang berangkatnya bareng.
Gue
jelasin singkat mengenai peraturan lomba dulu ya. Jadi 1 tim itu dapat 6 dari
total 16 museum yang tersebar di seluruh penjuru TMII yang punya luas 150
hektar. Dan di tiap museum itu ada 2 pertanyaan yang harus dicari jawabannya di
dalam museum. Penilaiannya pun berdasarkan waktu tercepat dalam menjawab yang
artinya tim yang berhasil menyelesaikan lebih dulu udah pasti keluar jadi
pemenang. Dari yang gue kira-kira, kurang lebih jumlah timnya adalah 55. Cukup
banyak. Tapi ngga ngebuat kita goyang. Jelas.
Lomba
pun resmi dibuka. Nametag bertuliskan tim “AHL-G” yang dikalungkan dileher jadi
saksi awal saat kita melangkah dengan semangat dan optimisme yang masih
memuncak. Memulai lomba dengan banyaknya titipan asa di pundak. Dari mereka
semua yang jauh berjarak. Meski aneh, tapi perasaan itu ada. Perasaan maju
mewakili sesuatu yang nyata. Mewakili mereka. Ah andai kita semua satu kota. Pasti
hari seperti sabtu ini akan sering terlaksana.
Berhubung
medannya sangat luas, jadi kita memutuskan buat pake strategi yang diilhami
oleh pepatah “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.” yang singkat
artinya adalah capek dulu aja mendingan, senengnya belakangan. Jadilah kita
mengambil rute museum yang paling jauh. Baru menuju yang terdekat dengan garis
finish.
Jalan
menuju museum pertama itu perkara mudah. Karena stamina dan fisik yang masih
sangat prima. Begitu gue perhatiin, ternyata banyak juga tim yang punya ide sama kaya kita. Kalo gini sih yang ngebedain cuma masalah niat menang atau engga. Tim AHLG yang juga niat menang memutuskan buat jalan santai. Persetan lah kalo tim lain udah sampe ke museum pertama dengan cara lari
tunggang-langgang sedari tadi. Toh kalo kita lari juga ngga ngejamin masih ada sisa tenaga buat di museum selanjutnya. Yang ada kita malahan sering istirahat karena capek. Jadi kita mah santai aja, hemat bensin, gue pikir.
Museum
pertama kita lalui tanpa halangan berarti, karena Zaki yang bertugas jadi
navigator cukup baik memilih rutenya. Pertanyaan pun ngga terlalu sulit, bisa
kita dapetin dalam hitungan menit. Masalah pertama hari itu muncul ketika
keluar dari museum pertama, dan kita menuju ke ‘museum terkutuk’, museum kedua...
Kenapa
gue bilang gitu? Kalo boleh jujur. Di museum kedua ini awal mula faigkting
spirit gue menguap secara perlahan. Gimana ngga. Pas kita jalan ke tempat itu,
kita harus bolak-balik sebanyak 3 kali. 3 kali dengan jarak tempuh yang lumayan
bikin dengkul meronta-ronta. Tapi ini bukan salah navigator, bukan. Ini murni
kesalahan teknis. Ternyata di jalur yang kita ambil ada proyek pembangunan yang
bercokol dengan ngga sopannya. Menghalangi dan mengecoh peserta sial seperti
tim kita ini. Jadi jalan yang kita liat di map yang harusnya mengarah langsung
ke pintu masuk museum ngga bisa dilaluin. Akibatnya udah jelas, jarak tempuh
dan waktu yang jadi taruhannya. Demi kesana kita mau ngga mau harus menguras lebih
stamina dan waktu yang berharga. Dan ini alasannya kenapa gue bilang ‘museum
terkutuk’. Atau lebih tepatnya ‘rute museum yang terkutuk’.
Setelah
keluar dari museum kedua, dengan langkah gontai kita semua melanjutkan ke
museum selanjutnya. Walau harus bersitegang sama selembar perasaan optimis yang
masih tersisa, tapi dengan berat hati gue akuin kalo sisi realistis gue yang
menang. Peluang tim kita buat menang udah mengerucut saat itu.
Dikarenakan tim kita sukses dipermainkan oleh keadaan, yang gue maksud disini
proyek sialan tadi ya.
Dengan
kondisi yang udah buruk, yang perlu gue lakukan cuma mencegahnya buat jadi
lebih buruk. Bermodalkan harga diri, akhirnya tim kita kembali melanjutkan
perjuangan ke sisa museum lainnya. Tapi beruntung saat kita melaju ke museum
selanjutnya penderitaan bisa sedikit berkurang. Strategi kita membuahkan hasil.
Dua museum paling jauh udah kita samperin dengan susah payah, artinya tersisa empat museum yang
lokasinya saling berdekatan dan berderet. Sadar atau ngga, ngeliat posisi
keempat museum di peta aja udah bisa ngasih boost mental buat tim kita. Jadilah
semangat yang tadinya berhamburan kemana-mana bisa gue petik lagi dan kembali
diakumulasikan.
Museum
ketiga, walaupun dengan jarak gerbang dan pintu masuk museum yang cukup
ngeselin berhasil kita lewatin dengan mudah. Museum keempat yang relatif lebih
bersahabat dibanding museum lainnya tentu juga bukan hal sulit buat kita.
Melaju ke museum kelima, walaupun dengan sisa-sisa tenaga yang terkonsentrasi
di telapak kaki. Dengan tanpa patah arang, untuk mencegah tergelincirnya muka lebih
jauh lagi. Pemberhentian kelima pun berhasil kita lalui tanpa halangan berarti.
Tanpa ngeliat waktu yang berlalu, tanpa ngeliat rival yang terus melaju, dan
tanpa ngeliat apapun yang mungkin jadi pengganggu. Akhirnya kita bisa
mengayunkan kaki yang udah berat banget ini ke museum keenam. Museum terakhir,
dan masalah terakhir...
Kalo
di kelima museum lainnya kita dikasih 2
pertanyaan. Beda dengan museum terakhir ini. Disini kita dikasih 6 pertanyaan,
lebih banyak 3x lipat dibanding tempat lain. Dan disini jawabannya bukan cuma
teori yang kita cari di sekitar museum. Tapi juga ada praktek yang harus kita
lakuin buat dapet pertanyaan selanjutnya yang dipegang petugas. Boleh juga
idenya, biar ngga monoton.
Dari
6 pertanyaan yang harus dijawab, ada 2 praktek diantaranya. 1 tentang percobaan
listrik sedangkan 1 lagi tentang merakit robot. Iya, ngerakit beneran. Gue yang
bisa ngerakit PC begitu tau harus ngerakit robot sih kalem-kalem aja. Tadinya
mau gue yang ngerakit, tapi pas ngeliat antusiasme dari Kanzia yang duduk di
sebelah gue jadilah gue urungkan buat ngambil tugas itu.
Beberapa
menit kemudian, ada tim lain yang dateng dengan sombongnya(ini subjektif) ke
arah petugas yang jaga. Awalnya cuma tim kita yang ada di bagian merakit, tapi
nominal bertambah sejak kehadiran tim lain itu. Percakapan singkat mereka
dengan petugas bisa gue denger dengan jelas dikarenakan mereka bicara dengan
standar manusia terminal. Teriak-teriak.
Setelah petugas ngerti maksud dan
tujuan kedatengan mereka, lalu diarahkanlah sekawanan itu ke meja sebelah buat
ngelakuin hal yang sama kaya tim kita, merakit robot. Gue yang ngeliat komposisi
muka anggotanya satu-persatu berspekulasi kalo mereka pasti didominasi sama
mahasiswa tingkat akhir (baca:tua). Dan mayoritas air mukanya juga
mencerminkan kalo mereka ‘rada lama’. Pasti Kanzia bisa nih menyelesaikan lebih
dulu dari mereka, secara tim kita dateng duluan dan di tim gue ada dia, gue
pikir.
Belum
ada 3 menit gue berasumsi, eh asumsi itu malah jadi bumerang. Dengan ngeselinnya
tim mereka bisa ngerakit dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Gile cepet
banget, pake acara teriak lagi. Gue yang disuguhkan pemandangan kurang
mengenakkan merasa kerongkongan gue tiba-tiba ditumbuhi tumbuhan merambat. Kesel
sih. Pas gue liat ke sebelah, ternyata robot kita belum jadi. Ampe Zaki juga
ikut bantuin. Begitu gue liat kenapa kok bisa lama banget ternyata penyebabnya
bukan dari mereka, atau tim kita. Lagi-lagi masalah teknis yang sekali lagi
meluluh lantahkan faigkting spirit gue jadi bubur. Kita tamat.
11.52. AHL-G berhasil menaklukkan seluruh museum dengan tanpa menghentikan langkah
sedikitpun. Seharusnya kita bisa lebih baik lagi. Seharusnya.
Manusia
selalu menginginkan keberhasilan, tapi kembali lagi. Sesempurna apapun rencana
kita, sehebat apapun strategi kita, sekuat apapun prediksi kita untuk mencapai
puncak yang mereka, kita, sebut keberhasilan itu. Masih belum cukup. Ada faktor
lain yang krusial dan ironisnya sering terlupakan. Rencana, strategi, dan
prediksi kita itu tidak akan berjalan sesuai jika bukan karena penyelesaian
akhir dariNya. Penyelesaian akhir itu butuh bayaran sepadan dari kita. Doa.
Iya. Adalah doa, kendaraan paling megah yang bisa mengantarkan kita melewati
jurang terdalam yaitu hambatan yang memisahkan antara rencana dan terlaksana.
Tanpa keraguan gue berani bilang kalo doa juga memegang peranan penting, selain
usaha, dan keberuntungan tentunya.
Gue
akuin pas lomba dimulai tim kita melupakan satu hal penting itu. Berdoa. Iya
kita lupa berdoa bersama, ataupun pengharapan seremonial semacamnya. Terkesan
sederhana. Tapi siapa yang tau hasilnya jika kita menambahkan sedikit kegiatan
di awal dimulainya lomba, seperti berdoa? Bisa lebih baik atau lebih buruk.
Bisa mengantarkan kita pada takdir berhasil, atau malah takdir gagal seperti
sekarang ini. Entahlah. Terlalu banyak faktor yang ngga bisa dijabarkan
mengenai kekuatan doa. Dan gue rasa opini lengkap gue tentang itu bukan di post
ini.
Satu
hal yang pasti, gue ngga menyesal dengan ketidak-menangan tim kita. Setidaknya
kita telah berjuang, meski belum sempurna.
Sebenernya
masih banyak urutan kejadian setelah selesai lomba. Mulai dari ditraktir Bokapnya
Kanzia, pengumuman doorprize, janjian sama Githa yang sayangnya ngga jadi
dikarenakan dia malu ketemu sama gue, dan bincang gue di sepanjang rute pulang naek
bus dengan ibu-ibu pecinta kelinci yang kemana-mana bawa lion head yang luar
biasa lucu banget itu.
Tapi
ngga perlu deh ya, takutnya malah makin banyak. Baiklah, gue akhirin dulu
postingan ngga berguna ini, yang terlalu panjang gue rasa.
Gue
berterimakasih sama siapapun yang udah berkontribusi di hari itu. Anak AHLG terutama.
Yang menyumbangkan begitu banyak doa, semangat, dan harapan yang sayangnya
belum bisa kita tebus dengan kegemilangan. Buat yang berpartisipasi di lomba.
Kanzia, Ryan, Zaki. Dan ngga lupa Bokapnya Kanzia. Kalian luar biasaaa.
Last
but not least. Ketemu Kanzia, Ryan, Zaki udah. Ketemu kamunya, kapan? Iya kamu.
Gausah cengar-cengir gitu ah bacanya. Seriusan nih kapan kita ketemunya? : (
Haha.
K! See you when I see you~
Nice Ndu wkekeke keren, detail dan persis kayak aslinya. Dua jempol :D
BalasHapus