Jumat, 7 September 2018
Sedikit gundah sesaat setelah menerima agenda
tambahan berupa penambahan waktu kerja tepat sebelum absen pulang. Bukan tidak
sanggup, hanya menyesalkan nasib dari film yang sudah aku download hari itu.
Sebagian dari mereka sudah aku beri jadwal putar di malam hari, tapi kenyataan
memang seperti itu. Tanpa rencana dan tidak terduga pada beberapa kesempatan.
Yasudahlah mau dikata apa lagi, atasan sudah menurunkan titah. Komando bersifat mutlak, setidaknya untuk
sekarang ini. Tapi kalau saja minggu depan intruksi ini muncul lagi, aku sudah
bilang tidak janji bisa memenuhi.
Pekerjaanku cukup mudah, hanya menjalankan
fungsi pengawasan ke beberapa orang. Melihat mereka bekerja, mencatat sedikit
banyak hal terkait pekerjaan. Mulai dari waktu pengerjaan juga hambatan. Tidak
capek, tapi menguras waktu. Sebagai informasi tambahan, sebelumnya aku pernah
bekerja lembur juga seperti saat ini. Waktu mulainya pun sama yaitu dari jam
pulang. Perbedannya hanya pada jam selesai. Kemarin dari jam 17.00 sampai pagi
hari tepatnya 07.15, lalu hari itu juga masih tetap masuk pada jam 08.00.
Jadilah hari itu tidur barang satu jam pun tidak masuk dalam rincian kegiatan.
Yang sekarang agak berbeda, sebelum tengah malam aku sudah bisa bebas tugas,
walaupun pekerjaan mereka belum selesai dan menyisakan sedikit.
Lembur terkadang perlu menurutku. Untuk
memberikan sedikit tambahan nominal pada saldo rekening, dan hasilnya memang
tidak buruk. Tapi jika disuruh memilih, aku lebih suka tiduran di atas kasur
dan memainkan gawai semalam suntuk ketimbang menyeduh kopi di lokasi pekerjaan.
Dan terimakasih kepada seseorang yang menemani malam tadi, meskipun hanya
melalui teks semata, tapi tidak apa, hal kecil semacam itu bisa berarti besar
untuk sebagian orang.
Juga untuk Pak Kusnandi (kalau tidak salah) yang memberikan obrolan ringan, padat, nan
berisi di sela-sela ke’gabut’-anku mengarungi malam. Beliau bercerita tentang
masa mudanya yang penuh lika-liku dan naik turun. Memang pengalaman adalah guru
terbaik, dari situ predikat kita sebagai manusia diuji. Karena berhasil atau
tidaknya kita sebagai insan dilihat dari cara kita belajar dari pengalaman.
Pribadi ataupun orang lain.
Dari sekian banyak ucapan motivasi yang
dilontarkan, ada satu kalimat yang kiranya kalau aku tidak salah ingat
diucapkan berkali-kali dan mendapatkan nada penekanan khusus darinya. Aku
mengira semacam motto hidup yang didapat dari pengalaman dan terus dipegang
teguh hingga hari ini dan nanti.
Kalimat yang berupa, “Percaya aja, takdir itu udah tertulis.”
Kalimat yang berupa, “Percaya aja, takdir itu udah tertulis.”
Aku mengangguk iya, tanda setuju tiap kali
ucapan itu terdengar. Tidak asing, apalagi karena aku sudah membaca mahakarya
seorang Paulo Coelho yang berjudul The Alchemist, disitu jelas apa inti yang
ingin disampaikan sang penulis. Bahwa kita harus percaya mengenai takdir yang
sudah tertulis . Tidak perduli betapa sulit dan jauh jarak tempuh kita dengan
takdir itu. Asalkan kita percaya dan berusaha, niscaya ia tidak akan pergi dan
menunggu kita untuk menjemputnya.
Lalu bagaimana denganku?
Aku menulis ini dalam rangka instrospeksi dan
evaluasi diri selama setahun belakangan. Banyak hal luar biasa terjadi, bahkan
mungkin salah satu yang terbaik dalam kehidupan sejauh ini. Tuhan menunjukan
kilau takdir sedikit demi sedikit pada jalan panjang yang terbentang, sedikit
cahaya yang mampu menembus awan pekat diatas. Belum bisa menerangi, tapi cukup
untuk menuntunku guna mengambil langkah secara hati-hati.
Tahun ini aku diijinkannya kembali untuk
mengangkat bongkahan yang selama ini aku
timbun rapat di bawah pohon belakang rumah. Telah kuperlihatkannya pada
beberapa teman mengenai apa dan bagaimana hal tersebut bisa ada disana, tapi
belum semua. Batu itu masih jauh dari kata layak jika aku bawa ke depan mata
semua orang. Ada proses teramat panjang yang masih perlu dilakukan terhadap
bongkahan kotor itu. Mulai dari pembersihan, pemotongan, pemolesan. Aku butuh
waktu lebih lama lagi.
Jujur saja tidak semuanya berjalan baik, ada
tinta merah yang meskipun tidak banyak namun mengganggu. Selalu ada hal yang
harus dikorbankan jika ingin mencapai sesuatu, dan aku membayar mahal untuk ini
semua. Ditambah kehilangan beberapa orang yang cukup menyesakkan. Tahun ini
mendapat nilai 7 dari 10 angka yang aku miliki.
Tidak apa-apa, kataku pada diriku sendiri.
Tidak apa-apa.
Hidup memang tidak selalu seperti yang
dibayangkan.
Tidak apa-apa merupakan seni berdamai dengan
diri sendiri. Tentang kepiawaian diri menerima apapun kondisi yang tidak
berpihak pada kita. Lapisan toleransi maksimal yang membalut emosi dalam hati
untuk sebuah realita yang bisa menghabisi ekspektasi tanpa ampun. Aku sudah
belajar itu
jauh jauh sebelum tahun ini dan sudah menerapkannya.
Di babak baru ini aku sudah menyiapkan beberapa
target dan menempatkan titik di satu dua lokasi yang rada ekstrem yang bagus
untuk memicu adrenalin. Juga, kedepannya aku menebak akan ada cukup banyak
nama-nama baru yang hilir mudik. Corak baru, warna baru. Semoga mereka semua
akan menjadi pembawa aura positif. Aku sudah tidak ingin capek capek berurusan
dengan manusia yang hanya membawa aura negatif. Menyusahkan.
Juga, semoga kita bisa baik-baik saja.
Kalaupun tidak bisa, Nandemonaiya.
Komentar
Posting Komentar