Semua mungkin sepakat sama gue kalo pagi ini diawali dengan kekompakan media massa dalam hal berita. Mulai dari media cetak, elektronik, sosial, sampe media nature. Oke maap, itu Melia. Iya, jadi berita pagi ini itu seragam semua tanpa terkecuali. Tanpa memandang yang paling beda sampai yang paling baru.
Beritanya
apa? Beritanya adalah kenaikan harga BBM yang bukan jadi isu lagi tapi udah
jadi kenyataan. Wuihhh, berita yang sensitif dan bukan termasuk berita populis
buat masyarakat kan? Wajar aja langsung geger dimana-mana. Dan pom bensin di
h-1 itu udah kek rumah makan padang, tapi gratisan. Kebayang kan ramenya kek
mana?
Mungkin
kenaikan bbm
tanggal 18 November bakal jadi noda tersendiri buat pemerintahan
Jokowi-JK yang masih tergolong baru. Mereka yang di gadang-gadang jadi The
Savior rakyat kecil tapi malah menghapus subsidi bahan bakar. Eitts, tapi
menurut gue mereka udah bener kok. Pengalihan subsidi dari sektor konsumtif ke
produktif awalnya emang bakal jadi taruhan buat citra pemerintahan, dan gue
yakin bakal ada waktunya dimana program itu mengenai target dan ngehapus
paradigma tentang penghapusan subsidi bbm itu selalu buruk. Tapi emang butuh
waktu untuk itu sih.
Well.
Daripada ocehan politik yang (gak) berbobot ini makin panjang dan njelimet
sendiri. Mending gue belokin aja deh ya sesuai niat awal gue. Sebenernya post
ini tuh tentang pelajaran fisika loh. FISIKA menn. Iya, walaupun prolog gue
bahas politik dan pemerintahan baru. Tapi, emm, masih ada tapinya nih. Ini
bukan murni tentang fisika yang kita pelajarin pas sekolah. Ini cuman analogi
dari teori favorit gue sepanjang masa. Dan analogi ini gue rasa nyambung sama
berita kenaikan bbm.
Teori
Relativitas. Albert Einstein, tokoh dunia favorit gue ini yang menciptakan
teori yang mendasari beberapa penemuan modern saat ini dan di masa depan.
Jenius fisika ini juga berjasa buat penelitian luar angkasa berkat teori kece
yang di paparkan beberapa abad silam. Dan buat gue, satu diantara berjuta-juta
penggemar Einstein. Teori relativitas bukanlah
sekedar teori fisika. Relativitas ini adalah prinsip hidup yang bakal
terus gue pegang, gue patri di logika gue.
Kenapa
Relativitas? Karena sesuai apa yang tertera di teori itu, gue gamau ambil yang
panjang-panjang. Gue rangkum jadi 1 kalimat yang maknanya teramat luas, 1
kalimat yang sakti banget buat gue dan udah sukses ngebuka mata gue sampai saat
ini dan nanti. Beberapa penggal kata yang masih terdiri dari bahasa fisika. Dan
saat pertama gue baca ini, gue bisa menerawang ke segala aspek kehidupan.
Kalimat yang tanpa gue sadar punya pengaruh begitu besar. Ringkasan teori itu
gue rangkum ke 1 kalimat ajaib versi gue.
Sedahsyat
apa sih? Gue ringkas aja ya, soalnya agak ribet kalo bawa-bawa bahasa fisika
yang gue sendiri juga belum nguasain. Teori yang intinya ada dalam 1 kalimat;
“Di
semesta ini tidak ada yang pasti kecuali kecepatan cahaya, semua bergantung
titik acuannya.”
Kira-kira
itu intisarinya ya, ekstraknya lah kalo kata marketing obat mastin. Gimana
menurut kalian? Biasa aja kan. Nothing special atau garing? Yagapapa sih kalo
mikirnya gitu. Padahal nih ya, kalimat itu tuh bener-bener penerangan. Terang
dalam gelap, kaya bukunya Kartini. Tapi kalo kalian masih belum dapet, okee
bakal gue bahas.
Tenang
aja, masih bisa gue singkat lagi kok kalimat itu menjadi 1 kata. Kata yang
begitu mudah dicerna itu adalah, RELATIF. Kata Relatif ini bentuk sangat
sederhana, padat, dan kokoh dari kalimat yang udah gue godok di atas. Udah
jelas kan sampe sini, kenapa gue sampe punya prinsip hidup dari sebuah teori
fisika yang bersifat everlasting itu.
Yup,
Relatif udah jadi dasar dari pemikiran gue. Bahwa setiap opini, tanggapan, perasaan,
sifat, atau apapun itu yang ada di seluruh semesta ini. Semua engga ada yang
mutlak. Semua bersifat Relatif tergantung titik acuannya.
Contoh,
Subsidi BBM. Balik lagi ke atas. Subsidi BBM yang di alihkan pemerintah tentu
bertujuan baik guna memperkuat subsidi di sektor lain yang lebih produktif dan
menekan konsumtifitas bangsa Indonesia. Dalam hal itu yang jadi acuan adalah
pihak pemerintah. Tapi buat masyarakat umum, khususnya mereka yang berada di
bawah garis menengah. Bukankah naiknya harga bahan bakar adalah nightmare dream
come true buat mereka? Karena bahan bakar itu ibarat kepala ular. Dia punya
badan yang panjang dan juga ekor. Saat kepala itu naik, adalah hal yang tidak
bisa dihindari mencegah badan dan ekornya buat merembet naik juga. Badan dan
ekor yang gue maksud itu harga sembako, jasa, dan semua harga tanpa terkecuali.
Dalam hal itu masyarakat menengah ke bawah yang jadi titik acuan.
Sesederhana
itu salah satu cara gue mengaplikasikan Teori Relativitas dalam kehidupan
nyata. Bermanfaat buat gue, dengan
berfikir kaya gitu gue jadi lebih menghargai siapapun orangnya dan bagaimanapun
kondisinya. Karena gue sadar semua tuh ga ada yang mutlak. Semua berbeda antara
si AA dan DC. Di satu sisi gue ngebayangin jadi pemerintah yang harus menebas
subsidi dengan pisau bermata dua, di lain sisi gue ngebayangin jadi kalangan
menengah kebawah yang harus ikutan kena mata pisau itu.
Mau
contoh apalagi? Semua bisa gue masukkin teori ini. Dari galauan remaja yang
terkesan sadis sampe isu lingkungan yang bersifat pragmatis.
Intinya
dengan berfikir Relatif, kita jadi bisa berlaku kritis dengan berbagai berita
dan hal yang ada di depan kita. Kita jadi bisa melihat ke dua sisi. Positif
negatif dari berbagai sudut pandang itu akan muncul di pikiran kita saat
mencerna suatu berita. Dengan itu juga kita bisa memaksimalkan objektifitas
dalam menilai. Dan gue jamin, engga bakal jadi orang yang buta karena fanatisme
belaka.
Oke
sekian dulu Teori Relativitas versi gue. Pasti banyak yang bingung ya, hehe.
Langsung tanya aja buat yang gagal paham. Buat yang gagal move on juga boleh
nanya kok. Gue bakal jawab.
K!
see you when i see you
Komentar
Posting Komentar