Langsung ke konten utama

Memahat Patung

Bukan. Ini bukan live report gue yang lagi les bikin patung atau tutorial cara membuat patung. Sumpah, gue paling gabisa yang namanya seni visual kaya gitu. Ngegambar aja gue paling anti, apalagi bikin patung. Dalam hal ini mungkin Squidward lebih jago dari gue.


Memahat yang tertera di judul di atas ituadalah sebuah analogi. Analogi Memahat patung tentunya.
Dua tahun lalu gue masih anak sekolah yang belum tau mau kemana harus melangkah. Jujur gue dulu pemuda yang rentan kebawa arus. Kemana-mana ngikut. Liat trending langsung nyoba. Ada yang booming sedikit bawaannya pengen. Dulu gue selabil-labilnya orang labil. Kecuali urusan perasaan ya, gue stabil. Stabil jomblo. :|


Waktu celana gue masih abu-abu tuh gue bingung gue ini siapa. Mau ngapain gue ini. Apa yang bakal gue lakuin besok. Gue suram?
Iya, suram banget malah. Gue yang dulu itu selalu berfikir ke masa depan tanpa mengindahkan masa yang gue jalanin. Padahal gue tau, masa depan yang sempurna dimulai dari hari dimana kita berusaha untuk itu.


Ibaratnya. Manusia dikasih modal yang sama oleh Allah SWT, yaitu satu balok batu. Itu modal hakiki setiap manusia. Batu itu bentuknya sama pada awalnya. Di tangan orang yang bener,  batu itu mereka bentuk sedemikian rupa untuk menjadi suatu karya. Tapi di tangan orang ga bener? Jadi debu.


Tapi kan kita butuh pahat? Bener. Pahat itu ibarat faktor pendukung. Kalo yang satu ini engga semua orang punya. Dan faktor ini sangat bermacam. Contohnya fisik, finansial, atau keberuntungan. Gimana dengan orang yang ga punya pahat? Mereka bisa mencari alat lain, apapun, walau hasilnya pasti beda. Sampai di tahap ini kembali ke personality individu itu sendiri.


Suatu karya yang sempurna engga bisa dihasilkan darj proses sederhana. Butuh waktu, usaha, kerja keras, ketekunan dan masih banyak lagi. Tapi kalo semua itu bisa dilakukan dengan konsisten. Kita semua tau hasilnya yaitu mahakarya yang bisa kita banggakan di depan orang banyak. Begitu juga masa depan.


Masa depan yang ibarat patung itu bukan hal sederhana. Mau jadi apa patung itu semua tergantung diri kita masing-masing. Boleh aja kita mikir model patung nanti. Tapi tanpa tindakan buat mengukir di batu itu, ga mungkin kan mendadak batu itu jadi masterpiece? Hehe.


Saat gue nulis ini, jujur otak gue ini lagi berontak. Kiri dan kanan yang kontradiktif. Mereka gitu karena punya gambaran patung tersendiri. Dan berat buat gue mau ngikutin yang mana. Saat otak kiri gue bilang gue harus jadi engineer, otak kanan gue bilang gue harus jadi author.


Bagi gue, pilihan buat masa depan itu harus kita pikirin dari sekarang. Dan gue belum bisa memilih. -_- karena apa? Terlalu banyak pilihan kadang ngebuat kita ga bisa memilih. Dan kenyataannya emang kaya gitu. Gue takut ngambil resiko buat belok ke kiri dan ke kanan. Gue yang sekarang cuma ada di trek lurus. Di tempat teraman yang bisa gue raih. Saat temen-temen gue udah manuver kesana kemari. Gue, iya. Masih di tempat ini.


Gue selalu mikir kalo semua akan ada waktunya. Tugas kita cuma percaya. Percaya atas kehendakNya. Semua pasti sudah terencana untuk kita.


Dan saat kita udah dapet gambaran tentang patung mana yang akan kita pake di balok batu kita. Udah dapet 1 dari jutaan gambar yang hilir-mudik di pikiran kita. Udah memastikan dengan ribuan pemikiran yang memantapkan gambar patung itu. Tugas kita cuma 1. Iya. Usaha.


Karena sebagus apapun bayangan kita. Sesempurna apapun itu. Tanpa usaha bayangan itu hanya akan tetap jadi bayangan kan. Jadi semua harus seimbang. Doa tanpa usaha atau usaha tanpa doa engga bakal cukup. Mereka harus bersinergi, dua faktor itu jika ditambah dengan keberuntungan hasilnya adalah mimpi yang menjadi nyata. Dan voilaa, Patung indah yang tiap malam menghiasi pikiran kita bakalan berdiri kokoh siap untuk kita pamerkan kepada dunia.


Penalaran yang kurang begitu bermanfaat mungkin ya. hahaha.
K! See you when i see you.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beat Yourself.

Heloow~ Kemarin, tepatnya hari minggu gue abis ada pertemuan sama temen di komunitas gue. Wait... Komunitas? Iya buat yang belum tau, gue jadi salah satu volunteer di komunitas hijau di kota gue. Apa itu volunteer? Volunteer adalah sukarelawan, dia yang punya dedikasi terhadap suatu hal apapun itu dan mau mengerjakannya dengan sukarela tanpa   pamrih. Dia yang mau meluangkan waktu, tenaga, materi untuk kegiatan dengan ikhlas. Yaa, ehm, kaya gue gini. Cukup pengertian tentang volunteer, nanti gue dikira sombong lagi. Yang mau gue bahas disini adalah apa yang gue lakuin bareng mereka, maksud gue yang akan. Jadi kemarin itu kita ngebahas agenda untuk 3 bulan mendatang, Aksi apa aja yang bakal kita adakan untuk memperingati beberapa hari lingkungan kedepan. Seperti biasa, saat rapat berlangsung gue bersikap pasif. Gue emang kurang jago urusan ngomong dan jadi pusat perhatian di forum resmi kaya gitu. Tapi jangan salah ya, kalo disuruh ngomong depan gebetan sih gue u

Selenophile

Baiklah. 10 Agustus 2021 "Sepertinya memang sudah waktunya." Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun. Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah.  Sebuah doa klise yang tidak mungkin

Turbulensi

Beberapa jam sebelum hari kemarin berakhir gue udah hampir collaps. Dengan sederet kejadian mengejutkan yang gue alamin sedari pagi sampe sore yang bisa bikin migrain. Kejadian berantai, maksud gue. Karena hal itu gue jadi ngga bisa melakukan hal ini. Karena hal ini ngga bisa gue lakukan, hal itu akhirnya ngga jadi. Sesuatu semacam itu, kalian pasti paham lah.   Kebanyakan manusia beruntung di hari kelahirannya, ya gue tau itu opini gue aja. Meskipun cuman opini tapi gue yakin banget, soalnya banyak temen/seseorang yang gue tau. Dari cerita yang gue denger dari mereka, ataupun dari yang gue tau. Hoki mereka seakan berlipat. Dan itu yang jadi patokan gue dalam menilai hari kelahiran. Hari yang beruntung.   Tapi semesta punya rencana lain buat gue. Selalu begitu, Tuhan Maha Mengejutkan.