Langsung ke konten utama

Tanah Kelabu

Kali kedua gue menulis tentang satu moment penting berkaitan dengan bangsa Indonesia. Jika tulisan pertama gue rada kurang jelas dan belum membentuk lingkaran sempurna. Yang sekarang ini akan gue usahakan sepenuhnya.


Baiklah...


17 Agustus 2015.


70 tahun yang lalu, terjadi salah satu hari paling penting dalam sejarah bangsa ini, maaf bukan hari. Detik. Detik mendebarkan dimana kehormatan negara dipertaruhkan diujung tiang. Detik dimana ribuan asa menggantung di pundak sekumpulan orang yang berdiri di halaman rumah yang beralamat di Jl. Pegangsaan Timur no.56, Jakarta. Mendeklarasikan teks proklamasi dengan khidmat. Satu peristiwa yang dimotori oleh orang-orang yang luar biasa hebat, untuk bangsa yang (sebenarnya) sangat hebat.


Indonesia sudah lama merdeka. Ya, 70 tahun umurnya saat ini. Sudah tidak muda tapi juga belum cukup tua. Kita masih melangkah, walaupun lemah. Tetap bergerak, walaupun berat. Asalkan kita tetap membentang, negara ini punya masa depan yang jauh lebih cemerlang. Terpujilah Sang Garuda.


Oh ya. Tahun ini gue ngga bisa ikut upacara bendera. Huft. Karena bertepatan sama acara lain. Gue sempat mengutuk diri gue sendiri atas lalainya gue menjalani kewajiban tahunan itu. Kenapa gue ngga bisa meluangkan waktu di pagi hari buat sedikit memberi penghormatan ke sang saka. Bahkan nonton siarannya pun ngga.


Lama gue nyesel, sampai akhirnya gue mikir. Upacara hanya bungkus luar, yang terpenting adalah, apakah hati kita masih bergetar jika dihadapkan dengan situasi tersebut. Percuma kita ikut upacara, kalo hati kita berbeda dimensi dengan euforia yang seharusnya kita rasakan. Upacara bendera tidak bisa menjadi tolak ukur jiwa nasionalisme suatu individu. Menurut gue.


Hati yang bergetar itu karena dialiri perasaan memiliki dan kecintaan terhadap bangsa ini. Dan ternyata tanpa perlu ikut upacarapun, gue masih ngerasain hal itu. Perasaan nasionalisme gue masih cukup pekat. Perasaan kental yang melekat. Merambat ke semua tempat yang bisa ia hinggap. Dari ujung tengkorak sampai ke tulang belikat. Lalu menyerap ke otak, menggumpal menjadi tekat. Untuk satu alasan yang kuat. Tanah air.


70 tahun sudah Indonesia merdeka. Mereka bilang begitu, tapi buat gue pernyataan tersebut masih hambar. Tanpa rasa. Tanpa bukti nyata, kemerdekaan ini tidak merata. Hanya  untuk beberapa lapis strata. Bukan untuk mereka, atau kita secara keseluruhan.


Kebingungan dan keprihatinan langsung menjalar saat gue mikirin kondisi negara ini, sekarang. Bukan gue sok tau dan sok paling bener, tapi emang gue sedikit banyak paham akan hal yang gue pikirin. Masih banyak kebobrokan yang menjamur dimanapun, tanpa terkecuali. Harus dibenahi, tapi oleh siapa?


Kita. Tepat. Kembali lagi ke kita, atau gue, atau elu. Atau semua manusia yang berada di bumi pertiwi ini. Kita satu-satunya yang sanggup mengobati segala macem penyakit yang udah mendarahdaging ini. Dan begitulahhh kurang lebih jawaban umum yang semua orang bakal kasih kalo diberi pertanyaan “Oleh siapa?”. Tapi cuma itu, tanpa tindakan lebih lanjut. Terlalu banyak jawaban yang menitikberatkan sama “Perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri.”. Mereka mengucapkan itu hari ini, lalu melupakannya tepat saat mereka bangun tidur besok. Gue tau persis, tingkat kematangan masyarakat kita masih jauh dari harapan.


Mungkin gue rewel atau munafik, tapi gue cuma berusaha sedikit kritis disini. Teori ngga akan mengubah apapun. Lebih baik diam sajalah, daripada mengucapkan kalimat yang tidak bisa kita pertanggung jawabkan. Bicara boleh, asal kita mau dan sanggup berusaha. Juga tentang perubahan demi bangsa yang selalu digembar-gemborkan. Kita mau? Ayo melangkah. Pencitraan doang? Menyelam ke laut saja sana. Indonesia tidak butuh manusia seperti itu. Stok onggokan daging yang punya nama di negeri ini sudah teramat banyak.


Dengan jutaan denyut yang tersebar di seluruh penjuru. Ditambahkan segala materi yang tersedia. Sumber daya alam yang melimpah ruah. Kekayaan laut yang luar biasa potensial. Apa berlebihan jika kita menanti sesuatu yang lebih dari bangsa ini? Tidak. Hujan pun pernah menyirami gurun. Gue yakin, suatu saat Indonesia akan terlepas dari seluruh tali-temali yang menjerat. Simpul rumit yang belum bisa diuraikan, yang tetap ada sampai saat ini dan tidak hilang meskipun mereka bilang kita sudah merdeka.


Lalu, merdeka seperti apa yang dimaksud? Selalu saja setiap tahun, merdeka, merdeka, merdeka. Tapi apa kita benar-benar merasakan kemerdekaan itu? Kita yang gue maksud adalah seluruh lapisan masyarakat di ribuan titik di Nusantara. Sudahkah? Entah.


Bukan artinya gue tidak menghargai jasa pahlawan yang udah membanting tulang buat dapat titel “Negara yang Berdaulat” ini ya, tentu bukan. Kita sudah merdeka, gue yakin itu. Tapi merdeka yang gue bahas disini berbeda artian dengan merdeka yang didengungkan oleh masyarakat umum. Sangat berbeda.


Buat gue sendiri, gue sangat mengapresiasi jasa para pahlawan terdahulu. Dengan cara apa? Satu sih yang pasti, berjuang. Terus berjuang mempertanggung jawabkan ucapan yang selalu menggulung di hati, dan beberapa yang telah terlontar keluar. Terus berjuang hingga raga ini menyatu dengan tanah tercinta.


Mengenai tanah. Di mata gue tanah ini masih kelabu, bukan putih atau hitam. Semua masih samar. Mari kita selesaikan pekerjaan para pendahulu. Memberi identitas warna yang belum tertera. Semua terserah goresan tangan kita, warna apa yang mau kita berikan untuk tanah kelabu ini. Semoga saja bisa menjadi yang paling cerah di muka bumi. Semoga.


Lalu kita akan menari bersama di atas sana nanti.

 

 


Sepertinya... Sudah cukup. Satu lagi opini busuk yang gue tumpahkan di blog ini.


Haha. Tapi asal kalian tau aja, gue selalu berusaha membuat yang lebih baik dalam setiap postingan. Walaupun belum maksimal. Yang penting kan gue mau dan sanggup berusaha. Benar, kan? *wink*


Terakhir.

Tak apa terus berjuang. Karena hidup adalah nama lain dari perjuangan.

Kemerdekaan sejati hanya kita peroleh saat kita mati. Karena bernafas berarti belum terlepas. Dan menjejak memiliki arti tetap terikat.


“Dan kamu masih jadi satu yang terus aku perjuangkan, aku tidak main-main.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beat Yourself.

Heloow~ Kemarin, tepatnya hari minggu gue abis ada pertemuan sama temen di komunitas gue. Wait... Komunitas? Iya buat yang belum tau, gue jadi salah satu volunteer di komunitas hijau di kota gue. Apa itu volunteer? Volunteer adalah sukarelawan, dia yang punya dedikasi terhadap suatu hal apapun itu dan mau mengerjakannya dengan sukarela tanpa   pamrih. Dia yang mau meluangkan waktu, tenaga, materi untuk kegiatan dengan ikhlas. Yaa, ehm, kaya gue gini. Cukup pengertian tentang volunteer, nanti gue dikira sombong lagi. Yang mau gue bahas disini adalah apa yang gue lakuin bareng mereka, maksud gue yang akan. Jadi kemarin itu kita ngebahas agenda untuk 3 bulan mendatang, Aksi apa aja yang bakal kita adakan untuk memperingati beberapa hari lingkungan kedepan. Seperti biasa, saat rapat berlangsung gue bersikap pasif. Gue emang kurang jago urusan ngomong dan jadi pusat perhatian di forum resmi kaya gitu. Tapi jangan salah ya, kalo disuruh ngomong depan gebetan sih gue u

Selenophile

Baiklah. 10 Agustus 2021 "Sepertinya memang sudah waktunya." Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun. Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah.  Sebuah doa klise yang tidak mungkin

Turbulensi

Beberapa jam sebelum hari kemarin berakhir gue udah hampir collaps. Dengan sederet kejadian mengejutkan yang gue alamin sedari pagi sampe sore yang bisa bikin migrain. Kejadian berantai, maksud gue. Karena hal itu gue jadi ngga bisa melakukan hal ini. Karena hal ini ngga bisa gue lakukan, hal itu akhirnya ngga jadi. Sesuatu semacam itu, kalian pasti paham lah.   Kebanyakan manusia beruntung di hari kelahirannya, ya gue tau itu opini gue aja. Meskipun cuman opini tapi gue yakin banget, soalnya banyak temen/seseorang yang gue tau. Dari cerita yang gue denger dari mereka, ataupun dari yang gue tau. Hoki mereka seakan berlipat. Dan itu yang jadi patokan gue dalam menilai hari kelahiran. Hari yang beruntung.   Tapi semesta punya rencana lain buat gue. Selalu begitu, Tuhan Maha Mengejutkan.