Langsung ke konten utama

Aurora Borealis

Sengaja gue tulis satu hari sebelumnya guna menghindari intervensi dari pihak luar atau pesan sponsor tambahan yang takutnya bakal gue tulis disini. Haha


Beberapa bulan kebelakang dan kedepan ini gue sibuk memilah-milah berbagai kesibukan, kemauan, dan keharusan berdasarkan skala prioritas. Tidak boleh ini, harus itu supaya itu. Pokoknya banyak deh. Ironisnya skala itu setiap tahunnya semakin bertambah panjang, merenggang ke kiri dan kanan. Dampaknya gue jadi blingsatan sendiri buat mengatur segalanya. Setiap waktunya, mulai dari bangun sampai bangun lagi. Sepresisi mungkin. Sisi positif dari hal melelahkan itu adalah gue seneng karena gue bisa menjaga bara antusiasme itu tetap menyala. Yg tadinya redup, sekarang sudah menemukan hembusannya kembali.




Kurang lebih. Gue tau, kerepotan kolektif yang sedang gue nikmati dengan khidmatnya ini adalah hasil akumulasi dari kebodohan masa lampau dan sedikit ketidakberuntungan yang semakin menjadi-jadi dulu. Tapi yah, alasan hanya untuk orang lemah bukan? Semuanya akan dan harus dituntaskan secara estafet. Tidak boleh tidak. Ada sepikul tanggung jawab yang dibebankan setiap kali gue memproklamirkan suatu hal itu ke orang lain atau diri gue sendiri.


Lalu satu tahun kebelakang ini banyak list yang sudah gue coret, tapi nampak percuma. List yang tercoret jumlahnya terbilang sedikit dibanding list tambahan yang mendadak muncul dan maksa buat masuk my-list-to-do-in-life. Serangkaian daftar yang bukannya berkurang malah bertambah itu mau ngga mau maksa gue buat lebih faikgting di hari-hari kedepannya. Harus.


Banyak orang bilang hidup itu adalah tentang pencapain. Tentang apa yang sudah kita raih selama ini. Implementasi dari pepatah (bukan pepatah juga sih) itu banyak banget yang udah gue liat dan saksikan sendiri. Kebanyakan selalu meringkas hal luas tersebut menjadi hal kecil. Material. Dari sini aja udah salah kaprah. Mereka lupa, hidup itu tidak melulu tentang pencapaian material.


Disamping material. Ada pencapaian moril, mental, sosial, hubungan, dan bermacam lainnya yang gak bakalan gue sebut atau jelaskan satu-persatu. Lalu kenapa? Tanyakan pada stereotype masyarakat kita yang mayoritas menganggap harta sebagai hal yang prestisius. Walaupun memang iya, tapi kan bukan cuman itu aja pencapaian seseorang insan di muka bumi ini. Tidak selalu mengerucut kepada kilau harta semata.


Dan gue gabakal bahas lebih lanjut karena emang bukan disini tempatnya.


Well, layaknya yin dan yang. Begitu pula list yang gue sebut-sebut sedari tadi. Ada yang goal, ada juga yang missed. Akan selalu seperti itu, mengorbankan satu hal demi hal lainnya yang menurut kita lebih penting. Nilai urgensi yang bagai timbangan itu menentukan pilihan dan sikap kita terhadap dua persimpangan di ujung jalan. Gue ngga bakalan bilang setahun belakangan ini mulus-mulus aja. Ngga. Tapi gue juga ngga bakal bilang kalo semuanya hancur total. Masih jauh dari kata hancur. Beberapa anak panah berhasil melesat pada percobaan pertama. Ada juga yang baru bisa menghujam sasaran setelah percobaan ketiga, kelima, kesepuluh. Kalian tau kan, jika kita berhasil pada percobaan kesepuluh. Artinya ada sembilan hal yang kita korbankan. Kira-kira begitu analoginya.


Fenomena tahunan awal bulan September ini jadi jadwal tahunan yang layak diingat, setidaknya untuk diri sendiri. Evaluasi menyeluruh mengenai sikap dan perilaku. Penilaian mendetail tentang ketajaman pemikiran, kepekaan terhadap sesama. Serta semua keputusan yang telah diputuskan.


Juga tentang batasan-batasan yang boleh dilalui atau tidak. Apakah yang gue lakukan sesuai dengan porsinya dan ditempatkan pada titik yang semestinya. Terlebih lagi mengenai pandangan yang selalu menatap keatas.


"Jangan nunduk! Calon pemimpin itu ga ada yang nunduk dan ngeliat kebawah."


Wejangan sakti dari Kak Roro saat pelantikan Osis dulu. Dia ngomong itu saat mergokin kepala gue nunduk di kegiatan baris-berbaris, itu juga gue karena kecapean abis nanjak bukit sambil bawa barang yang luar biasa berat. Iya Kak, maaf ya.


Tapi perkataan itu bener-bener manjur. Sampai sekarang gue masih memegang teguh makna dari kalimat itu. Teruslah melihat keatas, jangan pernah ragu. Lalu apa yang bisa kamu temukan disana adalah sesuatu yang akan membuatmu merasa kecil dan tidak berdaya. Lalu perasaan menyebalkan yang akan kamu rasakan setelahnya, tentang rasa ingin meraih dan melewatinya. Jangan diabaikan barang sedikit pun. Perasaan ingin mencapai puncak itu, harus selalu kamu kobarkan. Lebih dan lebih lagi.


Koordinat nyata untuk seluruh pandangan gue yang mendongak keatas seluruhnya terkunci pada atap utara bumi. Tiada hentinya gue memicingkan mata ke tempat itu. Karena selain Polaris, ada sesuatu lain yang melambai di langit utara sana. Seindah yang dapat kamu bayangkan.


Bentuk 'keisengan' Tuhan agar manusia terkesima dan bertanya-tanya. Goresan kuas cantik dari Sang Empunya Segala pada tingginya langit utara. Jauh dari hingar bingar namun tetap cemerlang. Pemandangan yang menyajikan kecakapan mutlak dan absolut.


Aurora Borealis.


Sudah bisa membayangkan?


Kadang, hanya tempat tergelap yang mampu menghasilkan cahaya paling benderang.


Falsafah sempurna yang terekam baik-baik dan jadi kalimat yang bakal selalu gue inget. Tentang sebuah kilauan cahaya yang dimulai pada musim dingin awal bulan September. Pancaran yang muncul diatas selembar kertas hitam. Kilau yang berbanding terbalik dengan langit dibelakangnya. Gemerlapnya justru semakin meyakinkan saat kegelapan terpampang penuh.


Jika diibaratkan dalam cerita yang sering gue baca di buku, interpretasi sederhana dari makna kalimat diatas adalah. Hanya konflik terhebat lah yang mampu menciptakan cerita terbaik. Cerita yang menarik dan punya value di hati pembacanya.


Sampai sini, mungkin kalian bingung. Yaudahlah.


Tapi ada kalanya dalam hidup gue ngerasa apa yang telah dilalui selama ini. Tidak berarti apa-apa kecuali menjadi sebuah aurora di kemudian hari. Menjadi spektrum warna yang terombang-ambing di atas dan jadi tontonan orang banyak. Serta diiringi decak kagum.


Sampai saat itu tiba, sampai plasma yang berupa beberapa pencapaian itu mencapai lapisan atmosfir bumi dan menubruknya. Sampai elektron dan proton itu tiba di ionosfer. Sampai semua bersinggungan dengan langit tergelap di kutub utara. Pancaran itu hanya masalah waktu. Siklus itu pasti terjadi. Tuhan menitipkan rencana yang rumit tapi tentu akan membuat gue mewek bahagia dan kembang kempis di akhir naskahnya.


Pada langit utara tersimpan banyak cerita, mengenai berjuta konstelasi yang merekat dengan sempurna, juga jilatan lidah api beku yang menghipnotis mata. Semua tertata secara merata. Para pencemburu tidak akan bisa melihat keindahan sesungguhnya dari semesta. Terlebih mendapati makna di dalamnya.


Karena seluruh paragraf diatas lah, gue siap dengan berbagai gempuran keajaiban dalam bentuk apapun dalam waktu yang sesegera atau selambat mungkin.


Baik. Mari kita mulai umur yang baru dengan misi yang baru, besok.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beat Yourself.

Heloow~ Kemarin, tepatnya hari minggu gue abis ada pertemuan sama temen di komunitas gue. Wait... Komunitas? Iya buat yang belum tau, gue jadi salah satu volunteer di komunitas hijau di kota gue. Apa itu volunteer? Volunteer adalah sukarelawan, dia yang punya dedikasi terhadap suatu hal apapun itu dan mau mengerjakannya dengan sukarela tanpa   pamrih. Dia yang mau meluangkan waktu, tenaga, materi untuk kegiatan dengan ikhlas. Yaa, ehm, kaya gue gini. Cukup pengertian tentang volunteer, nanti gue dikira sombong lagi. Yang mau gue bahas disini adalah apa yang gue lakuin bareng mereka, maksud gue yang akan. Jadi kemarin itu kita ngebahas agenda untuk 3 bulan mendatang, Aksi apa aja yang bakal kita adakan untuk memperingati beberapa hari lingkungan kedepan. Seperti biasa, saat rapat berlangsung gue bersikap pasif. Gue emang kurang jago urusan ngomong dan jadi pusat perhatian di forum resmi kaya gitu. Tapi jangan salah ya, kalo disuruh ngomong depan gebetan sih gue u

Selenophile

Baiklah. 10 Agustus 2021 "Sepertinya memang sudah waktunya." Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun. Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah.  Sebuah doa klise yang tidak mungkin

Turbulensi

Beberapa jam sebelum hari kemarin berakhir gue udah hampir collaps. Dengan sederet kejadian mengejutkan yang gue alamin sedari pagi sampe sore yang bisa bikin migrain. Kejadian berantai, maksud gue. Karena hal itu gue jadi ngga bisa melakukan hal ini. Karena hal ini ngga bisa gue lakukan, hal itu akhirnya ngga jadi. Sesuatu semacam itu, kalian pasti paham lah.   Kebanyakan manusia beruntung di hari kelahirannya, ya gue tau itu opini gue aja. Meskipun cuman opini tapi gue yakin banget, soalnya banyak temen/seseorang yang gue tau. Dari cerita yang gue denger dari mereka, ataupun dari yang gue tau. Hoki mereka seakan berlipat. Dan itu yang jadi patokan gue dalam menilai hari kelahiran. Hari yang beruntung.   Tapi semesta punya rencana lain buat gue. Selalu begitu, Tuhan Maha Mengejutkan.