Baiklah.
10 Agustus 2021
"Sepertinya memang sudah waktunya."
Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun.
Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah.
Sebuah doa klise yang tidak mungkin terwujud di dunia, aku meratap lesu keadaan sekitar yang semakin pekat. Memang sudah seperti ini setiap harinya paling tidak sampai kiamat nanti, yasudahlah, batinku. Mungkin akan ada kesempatan lain setelahnya. Kalaupun tidak ada, aku akan menciptakan beberapa. Perkara ini jauh lebih mudah daripada harus menghentikan malam.
"Lihat deh bulannya, sabit ya itu?"
Ujarmu perlahan disela-sela obrolan, aku sengaja melaju dengan pelan agar semua kalimatmu bisa terdengar dengan baik. Aku tidak mau melewatkan barang satu hurufpun yang terlontar dari bibirmu kala itu, seaneh itu memang. Kamu menunjukkan sebuah arah bukan ke depan atau samping tapi jauh di atasku. Selang beberapa detik aku mengunci langit mendongakkan kepala mengarahkan ke titik yang kamu ucap. Tidak begitu jelas tapi memang siluetnya ada disana, tepat menggantung di langit di atas kita. Berpijar redup.
Bulan sabit tersebut ditemani beberapa titik di sekitarnya sedang menunggu hamparan gelap agar mereka bisa bersinar lebih terang. Penampilan penuhnya baru akan dimulai beberapa puluh menit lagi namun kamu sudah membuatnya malu karena decakmu. Maksudku, berapa orang di dunia ini yang melihat hal semacam itu? Akupun salah satu maniak astronomi tapi hal semacam memindai langit sore hari untuk mencari benda-benda luar angkasa belum pernah aku lakukan. Mungkin terdapat sesuatu yang aku lewatkan di dunia ini yang bahkan begitu dekat.
Aku mengangguk setuju, aku akui luput melihat detail tersebut. Kemudian tanpa pertanyaan dan penjelasan saat itu pula kamu memberi tahu perkara apa yang membuatmu tertarik, salah satunya lebih tepatnya. Agaknya bayanganku mengenaimu sudah melebar hanya karena caramu melihat ke atas. Hal biasa bagi sebagian orang, tapi sialnya kamu bertemu denganku.
Buatku cara mudah agar kita tau kualitas seseorang adalah saat kita membiarkan dia bercerita. Mengenai apapun di hidupnya. Secara perlahan dia akan menunjukkan bagaimana dia menjalani kehidupan, caranya melihat sesuatu, sudut pandang apa yang ia pakai, tutur katanya, dan seberapa hebat dia menahan tingkatan emosional dalam dirinya. Aku yakin kamu jauh lebih paham mengenai hal tersebut karena itu bidang yang kamu tekuni, bukan?
Senja berakhir saat kamu pergi dengan meninggalkan sedikit percikan dan guratan. Aku tidak bisa menahan ataupun melawan. Mana aku tau sedikit yang benar-benar sedikit itu bisa meruntuhkan sebagian pertahananku di kemudian hari. Kamu sih, tapi aku juga lengah dan salah. Maaf ya.
Langkahku ringan saat memasuki rumah, tidak ada yang salah di hari itu. Semuanya normal dan biasa seperti hari-hari lainnya. Hidupku mempunyai seluruh komponen yang aku butuhkan walaupun banyak tambalan dimana-mana tapi itu sudah cukup, pun mungkin hidupmu disana. Aku tidak pernah tau kalau percikan kecil sore itu pada akhirnya bertemu angin di pekaranganku yang kering.
19 September 2021
"Sepertinya memang sudah waktunya."
Malam itu pikiranku kembali memikirkan kalimat yang dulu menjadi gerbang pembuka. Setelah banyak kejadian silih berganti yang datang lalu pergi. Mengenai rasa pahit getir manis dan juga yang sanggup mengiris. Percakapan terik dan larut perkara banyak hal yang sudah dan belum terpaut. Keadaan friksi dalam satuan sentimeter yang bergerak perlahan namun tidak terelakkan. Senyum merekah atau tangis menderai dari masing-masing kita. Terekam dalam satu dan lebih memoar yang menjadi penanda bahwa kita pernah berada disana.
Tidak pernah mudah, semua ini. Bergerak melawan arah membutuhkan banyak energi dan keberanian. Tapi aku sudah bersiap dari jauh-jauh hari karena memang sudah menyiapkan berbagai alur cerita. Yang kita lakukan sebelum ini hanya bersiap-siap untuk menelan pil paling pahit. Cepat atau lambat semuanya akan terjadi dan bukan hal yang mengejutkan, aku sudah meletakkan semuanya tapi kamu tidak pernah bisa melakukannya. Walaupun bukan sesuatu yang baru namun tetap saja nafasku tercekat satu dua kali.
Singkatnya kita berada pada sebuah fase. Dan semoga kita sudah melewatinya. Terdapat guncangan di tempat yang dianggap merupakan akhir perjalanan karena semuanya nampak bertubrukan. Realitas saling bergulung bak ombak yang menyibakkan kenyataan berupa mercusuar di tengah laut. Kita sudah harus sadar dan melihat terdapat cahaya di atas sana, selain rembulan yang kamu sukai. Ada cahaya yang menuntun untuk bisa menepi dan terbebas dari ombang-ambing tidak terbatas. Perutku sudah tidak tahan. Karenanya aku memilih mengikutinya. Kapalku hampir karam dihantam air asin yang bergejolak semakin tidak karuan.
Aku sering berkata kalau apapun dapat terjadi di masa depan, tanpa menutup kemungkinan apapun. Dan itu berlaku untuk bermacam skenario. Jadi, jangan pernah bilang tidak mungkin. Kamu tidak berhak mendahului takdir yang sudah diatur dan tertulis di lauh mahfudz. Kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi nanti. Karenanya, tetaplah menjadi lumbung untuk menampung seluruh kebaikan seperti namamu itu.
Dan kali ini biar aku saja yang menyudahinya, dan aku akan. Aku sudah harus kembali pulang ke rumah asalku. Semoga aku masih diizinkan pulang ya setelah semua perjalanan yang cukup melelahkan ini. Nampaknya aku tersesat cukup jauh dan agak sulit untuk kembali. Mulai dari sini adalah usahaku untuk menemukan rumah entah itu yang lama atau baru. Padahal aku sempat mengira mungkin aku bisa menjadi rumah untukmu, tapi sepertinya hanya tempat singgah dan menghapus lelah.
Kemudian terimakasih sudah membawa warna baru dan menghidupinya walaupun sementara, aku tidak pernah mengingkarinya bahwa langit tidak akan pernah sama lagi mulai sekarang. Jikapun terdapat bulan penuh sepertinya tidak akan pernah penuh lagi. Sedikit dari gemerlapnya telah redup dan menjadi abu-abu.
Semoga bahagia selalu, dari hati yang hanya bertamu.
Komentar
Posting Komentar