Langsung ke konten utama

Binokular

Biru, lalu abu. Langit pasti setuju jika awan pucat selalu mengganggu. Diluar itu, aku tidak menemukan hal lain yang sanggup merusak langit, selain dirimu tentu.


Menjadi salah satu penikmat langit, pada waktu apapun di jam berapapun. Orang semacamku pasti paham, jika awan mendung memegang peranan besar perihal estetika permadani yang menggantung diatas. Jujur saja, aku kurang begitu tertarik dengan sebentuk abu-abu itu. Ia disana dengan angkuh, melenggak di lapisan atmosfir. Dengannya, sedetik biru di langit tampak berlubang. Seumpama pigura berwarna hitam kotor yang diletakkan di dinding besar bercatkan putih. Menyita perhatian.


Langit biru sudah sangat indah. Terhampar begitu luas, tanpa batas. Jikapun ada benda lain yang tinggal disana. Sudah ada awan putih yang melengkapi dan cukup pandai berperan sebagai pelengkap. Dan bukan menjadi antagonis seperti saudara jauhnya.


Jika bisa, aku pasti meminta kehadiran angin. Untuk memandu sang penjahat ke tempat yang jauh dari pandangan. Enyah diuraikan angin. Menghamburkannya menjadi bentuk kecil sehingga tidak terlalu mengacaukan penglihatan. Egois, tapi tak apa. Permintaan tidak selalu terpenuhi, kok. Aku tidak merasa bersalah mengenai pemikiran itu.


Apa mendung seburuk itu? Tidak, pikirku. Maaf berbelit-belit.


Aku membenci awan mendung, sudah jelas. Tapi percuma, aku tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu menurutmu apa yang seharusnya dilakukan orang yang tidak senang dengan kenyataan tapi tak punya kuasa barang seujung kukupun untuk mengubahnya? Mengumpat tidak mungkin membuatnya hilang, mengutuknya pun sama saja, bahkan jika aku matipun awan itu tetap takkan peduli.


Jadi aku memilih menikmatinya. Aku bersenang-senang dengan ketidaksenanganku.


Setiap lekukan yang tampak kontras dengan sekeliling. Gumpalan warna gradasi gelap yang besar, tampak seperti cacing gemuk yang menggeliat perlahan diatas karpet paling indah sejagat. Tidak terlalu sedap dipandang, tapi aku tidak punya pilihan. Aku ingin tahu kelanjutan cerita hari ini.


Seketika aku sadar jika ketidakberuntunganku berlipat. Beberapa temannya datang dari berbagai penjuru mata angin, ingin menertawakanku dengan keras. Mereka berkerumun, membentuk bercak-bercak besar yang menodai latar di belakangnya. Tampak berdiskusi. Tapi apa yang dibicarakan sekumpulan awan mendung? Aku menebak jika mereka merencanakan sesuatu. Dugaanku, aku disuguhkan pertunjukan langit yang akan lebih lama dari perkiraan. Hal buruk macam apa lagi? Sial.



- Suatu tempat dibawah pelangi, aku yang berterima kasih.

__________________________________________________________________________________


Test. Test. Halo!


Postingan pertama gue di bulan September. Kiw. September Ceria-kah? Entah, gue belum dapat gambaran.


Baiklah, mari mulai. Pertama-tama dan paling utama. Gue mau minta maaf (minta maaf mulu luh!) masalah konsistensi. Gue akuin, gue ngga konsisten. Mulai dari niatan awal yang mau bikin satu post setiap minggu, dan akhirnya seperti sekarang berakhir dengan satu post setiap bulan. Menyedihkan. -_- (semoga ngga lebih buruk)


Lalu masalah gaya bahasa. Haha! Campur aduk ngga keruan. Pusing saya juga.


Di beberapa postingan belakangan gue sadar, kalo yang udah gue tulis bener-bener melenceng dari genre blog yang udah gue tentuin sedari awal dulu. Maaf banget kalo gue mengacaukan konsep blog ini. Tulisan biru yang bikin pedih itu diluar prediksi gue, beneran. Dan post kali ini bakal gue jabarin kenapa dan apa, atau siapa yang punya peran mengubah cara gue, menulis. Eaah.


Waktu memang punya andil dalam menempa karakter. Dalam hal ini karakter blog gue. Ehtapi ini bukan berarti gue ngga komitmen loh. Ngga. Maksud gue ngga sepenuhnya. Iya gue emang ngga 100% komitmen sama genre blog ini. Seperti beberapa konten sebelum ini yang menyimpang dari yang lain. Tapi perlu kalian tau, perubahan karakter ke tingkatan yang lebih baik adalah kemajuan, bukan? Nah jadi itu yang gue rasakan. Jika komitmen berarti monoton, maka gue siap terlepas dari itu dan bergerak ke atas. Perlahan.


Karena “Kenapa” selalu alasan. Pertama gue bakal jelasin sedikit alasan kenapa gue mencampurkan elemen lain di blog ini.


Warna. Satu kata. Gue butuh, dan harus menghadirkan banyak warna disini. Sebenernya gue bisa sedari dulu menambahkan warna lain, tapi karena alasan komitmen yang kemarin gue pegang teguh. Jadilah gue memproteksi blog gue dari warna lain.


Lalu ada “Apa”. Apa yang membuat kenapa? Apa yang membuat gue mau ngasih kesempatan warna lain buat nimbrung disini. Hem.


Emosi. Jujur gue orangnya emosional, bukan emosian. Banyak hal-hal di sekitar yang selalu mengendap lama di otak gue. Membatu disana, susah bener diilangin. Dan kalo emosi gue udah gak bisa dibendung lagi, beberapa kadang lolos seleksi dan gue izinkan berganti wujud jadi artikel. Nah beberapa artikel itu gue kerucutkan lagi jadi sangat sedikit, dan itu yang gue tempatkan di blog ini. Jadi hubungannya sifat emosional gue dan apa penyebab gue ngasih warna lain disini adalah... Ada beberapa, tapi satu favorit gue yaitu gue pengen sedikit lebih jujur lagi. Sama diri gue sendiri tentunya. Kalo warna lain pun, entah itu biru, ungu, ataupun merah. Mereka memang ada di dalam sini, sini, *nunjuk hati* *hati ayam*.


Dan “Siapa”. Well, gue harus lebih selektif milih diksi di bagian ini. Haha.


Kita semua tau, masyarakat heterogen mendominasi kota-kota besar di beberapa puluh tahun belakangan(lah?), jadi hubungan kalimat sebelumnya sama siapa yang gue maksud itu adalah. Umm. Ngga ada. :v


Oke ini jawaban yang sebenarnya, simak baik-baik.


“Tentang siapa yang kumaksud, aku tidak bisa berkata dengan baik. Aku sanggup membuat DaVinci menangis saat aku melukiskannya dengan butiran aksara. Aku bisa membuat Gustave Eiffel tercengang jika harus membeberkan kerangka pemikiranku tentangnya. Aku juga sanggup memaksa Einstein terbelalak kagum ketika aku menjelaskan korelasi teori relativitas dengan keberadaannya.”


Gitu, berat banget emang. Jadi intinya rahasia. Gue punya beberapa nama yang bertanggung jawab atas melencengnya blog(otak) ini, dan gue masih menunggu alasan yang sangat kuat buat gue bisa memaparkan namanya disini. Tapi itu pasti kok, nanti. Bertahun-tahun yang akan datang mungkin. Saat waktu tepat.


Kembali ke postingan tidak beraturan ini, gue hobi banget ya bikin tulisan carut-marut macam ini. ckck.


“Judul oke. Prolog udah kece, tapi tengah ke belakangnya kok ampas gini sih?” Kalo ada pertanyaan seperti itu di benak kalian. Yaudah. Emang gue lagi pengen bikin yang sporadis macam ini. Sekali-kali gapapa lah. Dan besok sepertinya gue bakal ngepost lagi. Tapi versi yang jauh lebih jelas dari ini. Tunggu aja ya.


Dan lagi, ini tidak semuanya tidak jelas. Kalian tau binokular, kan? Alat bantu untuk melihat. Gue rasa cukup nyambung dengan isi tulisan ini. Butuh lebih dari mata yang membaca buat mengerti apa yang gue mau sampaikan disini.


“Absurd lo ih!” Bodo amat.


Ngomong-ngomong, prolog gue diatas terselip pesan moralnya tuh, silahkan dipahami baik-baik. Haha.


Sampai jumpa nanti, semoga kita berjodoh dengan kesempatan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beat Yourself.

Heloow~ Kemarin, tepatnya hari minggu gue abis ada pertemuan sama temen di komunitas gue. Wait... Komunitas? Iya buat yang belum tau, gue jadi salah satu volunteer di komunitas hijau di kota gue. Apa itu volunteer? Volunteer adalah sukarelawan, dia yang punya dedikasi terhadap suatu hal apapun itu dan mau mengerjakannya dengan sukarela tanpa   pamrih. Dia yang mau meluangkan waktu, tenaga, materi untuk kegiatan dengan ikhlas. Yaa, ehm, kaya gue gini. Cukup pengertian tentang volunteer, nanti gue dikira sombong lagi. Yang mau gue bahas disini adalah apa yang gue lakuin bareng mereka, maksud gue yang akan. Jadi kemarin itu kita ngebahas agenda untuk 3 bulan mendatang, Aksi apa aja yang bakal kita adakan untuk memperingati beberapa hari lingkungan kedepan. Seperti biasa, saat rapat berlangsung gue bersikap pasif. Gue emang kurang jago urusan ngomong dan jadi pusat perhatian di forum resmi kaya gitu. Tapi jangan salah ya, kalo disuruh ngomong depan gebetan sih gue u

Selenophile

Baiklah. 10 Agustus 2021 "Sepertinya memang sudah waktunya." Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun. Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah.  Sebuah doa klise yang tidak mungkin

Turbulensi

Beberapa jam sebelum hari kemarin berakhir gue udah hampir collaps. Dengan sederet kejadian mengejutkan yang gue alamin sedari pagi sampe sore yang bisa bikin migrain. Kejadian berantai, maksud gue. Karena hal itu gue jadi ngga bisa melakukan hal ini. Karena hal ini ngga bisa gue lakukan, hal itu akhirnya ngga jadi. Sesuatu semacam itu, kalian pasti paham lah.   Kebanyakan manusia beruntung di hari kelahirannya, ya gue tau itu opini gue aja. Meskipun cuman opini tapi gue yakin banget, soalnya banyak temen/seseorang yang gue tau. Dari cerita yang gue denger dari mereka, ataupun dari yang gue tau. Hoki mereka seakan berlipat. Dan itu yang jadi patokan gue dalam menilai hari kelahiran. Hari yang beruntung.   Tapi semesta punya rencana lain buat gue. Selalu begitu, Tuhan Maha Mengejutkan.