Langsung ke konten utama

Turbulensi

Beberapa jam sebelum hari kemarin berakhir gue udah hampir collaps. Dengan sederet kejadian mengejutkan yang gue alamin sedari pagi sampe sore yang bisa bikin migrain. Kejadian berantai, maksud gue. Karena hal itu gue jadi ngga bisa melakukan hal ini. Karena hal ini ngga bisa gue lakukan, hal itu akhirnya ngga jadi. Sesuatu semacam itu, kalian pasti paham lah.
 
Kebanyakan manusia beruntung di hari kelahirannya, ya gue tau itu opini gue aja. Meskipun cuman opini tapi gue yakin banget, soalnya banyak temen/seseorang yang gue tau. Dari cerita yang gue denger dari mereka, ataupun dari yang gue tau. Hoki mereka seakan berlipat. Dan itu yang jadi patokan gue dalam menilai hari kelahiran. Hari yang beruntung.
 
Tapi semesta punya rencana lain buat gue.





Selalu begitu, Tuhan Maha Mengejutkan.

 

 
Gue ngga mengutuk, tentu ngga. Sesuatu terjadi karena alasan, bukan begitu? Jikapun kejadian tak beralasan, pasti ada tujuan yang ingin diperlihatkan. Tidak ada sesuatu yang sia-sia. Jadi meronta pun tak ada gunanya, lebih bijak kalo gue mengikuti arus yang ada. Melewati garis yang sudah digambarkan Tuhan dengan begitu menakjubkan. Pada akhirnya gue cuman bisa mengikuti pepatah kuno orang alay yang berbunyi “Woles ae bre”.
 
Lalu di akhir malam gue masih setia. Menanti beberapa nama yang belum tiba. Gue ngga meminta raga, cukup dalam bentuk kata atau suara. Seperti yang biasa kita lakukan di tahun-tahun sebelumnya.
 
Ini serius.
 
Walaupun udah akrab dan biasa dengan kegiatan menunggu, tapi kesal adalah elemen yang mutlak ada saat gue melakukan aktifitas itu. Sungguh ngga enak. Asli. Jika memutuskan untuk menunggu, artinya kita sudah siap terombang-ambing dalam lautan harapan. Tidak pasti, tapi tetap dinanti. Mempertaruhkan kepercayaan pada kail waktu. Mengucurkan semoga yang belum tentu menjelma menjadi langkah seseorang yang tiba.
 
Memuakkan.
 
Tapi bukankah sesuatu segalanya pasti akan berakhir? Seperti menunggu. Dan kalian tau, salah satu perasaan paling menyenangkan di dunia ini adalah, saat apa yang kita tunggu-tunggu akhirnya datang. Hadir tepat di depan muka kita. Jadi gue pikir, semua itu sepadan. Perasaan ragu, gundah, itu terbayar lunas, tuntas, tanpa bekas yang menimbulkan cacat. Penantian yang berujung kepuasan, tanpa pertanyaan tambahan.
 
Hari gue yang kelabu mencapai klimaksnya di titik tergelap. Sudah gue bilang kan, Tuhan Maha Mengejutkan.
 
Apa kebetulan atau tidak, gue ngga begitu mengerti. Tapi gue rasa mustahil jika semua terjadi begitu saja tanpa campur tanganNya. Seakan bersekongkol dengan jagat raya. Mereka mengetuk di pintu yang hampir tidak terbuka, dalam kurun waktu yang hanya berselisih menit dari tumbangnya bunga terakhir dalam genggaman. Bagaimana itu bisa menjadi lebih mencengangkan lagi? Tidak mungkin.
 
Tapi bumi masih tetap dibawah, tidak perduli terlihat sedekat apapun langit. Jangan terlalu larut dalam hal sesaat itu, kaki gue masih menginjak tanah. Masih butuh ribuan langkah untuk menjangkau titik tertinggi bumi. Untuk melihatnya lebih dekat lagi. Kemarin mungkin fenomena langka, langit yang begitu rendah sampai seakan bisa gue gapai. Tapi tidak, itu hanya perasaan gue aja. Langit masih begitu tinggi. Jika tidak bergerak mencari, kecil kemungkinan gue bisa melihatnya sedekat itu lagi.
 
Gue harus bisa, dan itu bukan pilihan. Sudah banyak alasan untuk melakukan itu, dan semakin dipertegas oleh malam kemarin. Terimakasih, cuman itu jawaban klasik yang sanggup keluar dari lidah gue. Padahal diluar itu, degup gue terhenti, rusuk gue remuk berkeping-keping, tulang kering gue melunak sampai ke titik paling rendah. Karena terlalu bahagia, oleh kalian.
 
Hari gue penuh, semua ada disana. Jika doa adalah tali, mati karena terbelit doa kalianpun gue rela. Tentu saja.
 
Lalu sekarang bagaimana?
 
Begini, mari merencanakan sesuatu. Sesuatu yang lebih lagi dari yang lainnya. Saatnya mencoba fokus sama kesalahan mendasar yang selama ini betah nongkrong di dalam pelipis gue.
 
“Kenapa denganmu, diriku?”
 
Bertahun-tahun belakangan gue diterpa angin kencang. Angin yang menyeret gue ke tepian jurang, tapi tak membiarkan gue jatuh ke dasar yang tanpa terang. Menjaga gue tetap hidup untuk merasakan kematian. Pahit dan manis di waktu bersamaan. Melelahkan.
 
Angin disini teramat banyak, berbenturan satu sama lain. Dengan kecepatan yang cukup tinggi. Datang dari berbagai arah yang tidak beraturan. Semua bergerak secara acak, tidak teratur, dan sangat energetik. Menghantam tanpa ragu. Sulit dipahami.
 
Angin itu seperti pikiran. Pikiran menghasilkan pilihan, dan pilihan yang luar biasa banyak selalu tampak membingungkan.
 
Mungkin karena itu, mungkin.
 
Pilihan. Buat gue pilihan masih jadi persoalan. Kadang terlalu banyak pilihan membuat kita ngga bisa memilih. Tapi bukankah tidak memilih merupakan suatu pilihan juga? Jadi saat kita tidak memilih artinya kita sudah membuat suatu pilihan yaitu tidak memilih pilihan yang ada. Dan lagi, dalam kasus gue. Gue berusaha untuk tidak memilih, menanti pilihan tepat datang dan lewat ke hadapan gue. Kesalahan. Ada kesalahan fatal yang sepertinya udah gue buat. Yaitu tidak memilih selagi menunggu, yang gue tau kalo itu merupakan pilihan juga.
 
Tetap, semua salah gue. Bermain-main dengan waktu lagi, sungguh berani sekali manusia sok tau yang satu ini. Gue terlihat baik-baik saja, padahal sedang merenggang nyawa di pintu neraka.
 
Oke, bukankah itu gunanya penyesalan? Mencambuk sampai ke dalam tulang. Meludahi keputusan mantap yang sudah kita ambil tempo hari. Meremukkan kepercayaan diri kita menjadi debu yang berserakan dengan tidak ada harganya. Membalikkan yang diatas kebawah hanya dalam tempo sepersekian detik.
 
Cukup berbelitnya, biar gue persingkat. Waktu berjalan terus, kita semua mengerti itu. Apa yang abadi, akan abadi, begitupun yang tidak, akan tidak. Mereka berkata waktu sanggup memperbaiki kebanyakan hal. Hampir semuanya kecuali diri kita sendiri, karena hanya kita yang mampu melakukannya. Bahkan sang waktu pun tak akan sanggup berbuat banyak. Pilihan kita terhadap diri sendiri yang akan terus bermain dan menentukan.
 
Sampai disini gue harus udah bisa memilah angin mana yang pantas dan cukup layak untuk terus gue jaga. Menghidupinya, lalu ia menghidupi gue.
 
Akhir kata. Tanpa lelah gue akan terus berucap terimakasih. Untuk semua doa, kata, asa, dan suara. Baik yang terucap maupun tertahan, baik yang sampai ataupun hanya sebatas angan. Gue akan menebusnya dengan menjadikannya nyata.
 
Teruslah menjadi alasan yang hidup dan menguatkan disaat paling sulit. Gue ngga butuh hadiah, kalian sudah menjadi itu. Dan lagi, terimakasih yang tak terdefinisi untukmu. UntukNya.
 
 
Oh ya hampir lupa, gue belum ngucapin. Haha
 
“Selamat untukmu, diriku.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beat Yourself.

Heloow~ Kemarin, tepatnya hari minggu gue abis ada pertemuan sama temen di komunitas gue. Wait... Komunitas? Iya buat yang belum tau, gue jadi salah satu volunteer di komunitas hijau di kota gue. Apa itu volunteer? Volunteer adalah sukarelawan, dia yang punya dedikasi terhadap suatu hal apapun itu dan mau mengerjakannya dengan sukarela tanpa   pamrih. Dia yang mau meluangkan waktu, tenaga, materi untuk kegiatan dengan ikhlas. Yaa, ehm, kaya gue gini. Cukup pengertian tentang volunteer, nanti gue dikira sombong lagi. Yang mau gue bahas disini adalah apa yang gue lakuin bareng mereka, maksud gue yang akan. Jadi kemarin itu kita ngebahas agenda untuk 3 bulan mendatang, Aksi apa aja yang bakal kita adakan untuk memperingati beberapa hari lingkungan kedepan. Seperti biasa, saat rapat berlangsung gue bersikap pasif. Gue emang kurang jago urusan ngomong dan jadi pusat perhatian di forum resmi kaya gitu. Tapi jangan salah ya, kalo disuruh ngomong depan gebetan sih gue u

Selenophile

Baiklah. 10 Agustus 2021 "Sepertinya memang sudah waktunya." Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun. Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah.  Sebuah doa klise yang tidak mungkin