Langsung ke konten utama

Sanctuary

“Di dunia ini, tempat seperti apa yang paling kamu inginkan untuk menetap disana?”


Aku berpikir keras untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang aku tanyakan sendiri kepada diriku itu. Tempat apa? Apakah tempat menakjubkan semacam kastil megah yang super mewah seperti yang ada di cerita Walt Disney. Dengan puluhan pengurus rumah yang handal, dengan ladang hijau berisi kawanan kijang di sepanjang mata memandang ke pekarangan, dengan dapur yang tampak penuh dan apapun yang kita inginkan tersedia. Tempat dimana kebahagiaan layaknya pasir di gurun sahara. Terlalu banyak kesenangan sampai kita merasa sedih, sedih yang menyelinap perlahan di hamparan kebahagiaan. Semacam itu kah tempat yang aku maksud?
 
Saat berbicara tentang impian, mau tidak mau dongeng dan imajinasi harus berkolaborasi. Dan aku, yang semasa kecil berteman dengan ratusan buku komik tentu tidak terlalu kesulitan menemukan bayangan tentang lokasi impian yang ingin aku tinggali. Semua semudah menjentikkan jari, tidak perlu mencari. Aku punya ribuan sketsa tentang keindahan berlokasi, di dunia bahkan semesta ini.
 
Lalu apa seluruh rekaman yang ada di kepalaku itu menjawab pertanyaanku? Awalnya iya. Tapi tidak. Titik yang aku cari berbeda dimensi dengan semua itu. Puncak yang aku inginkan, masih jauh lebih tinggi lagi.
 
Maksudku, coba lihat contoh yang aku berikan diatas. Sempurna secara keseluruhan. Tanpa cacat sedikitpun. Siapa yang tidak mau menghabiskan riwayat pada landscape surga di dunia itu? Tidak mungkin tidak.
 
Tapi menurutku surga itu tetap tidak cukup.

Aku bertanya pada banyak orang, beberapa menjawab sungguh-sungguh. Sebagian memberikan jawaban yang menarik, seperti “Aku ingin terus berada di kamarku, ini tempat paling indah dalam hidupku.”; jawaban menarik. Aku tau pasti jawaban yang keluar adalah hal subjektif. Jadi aku tidak akan beradu pendapat kali ini, hanya mencatat bagian yang penting. Dan lagi Ia benar. Kenapa kita harus mencari tempat lain saat kita sudah nyaman dengan tempat dimana kita berada sekarang?
 
Semua yang kita butuhkan tersedia, kenyamanan mencengkeram dengan lembut, tanah tempat berpijak seakan magnet paling menyenangkan yang membuat kita tertahan. Jadi masihkah perlu kita mencari tempat lain? Pergi dari lingkaran sempurna yang sudah kita dapatkan.
 
Aku bilang perlu. Karena, ya menurutku perlu. Mimpi harus selalu dihidupkan, dan langkah harus tetap diayunkan.
 
“Jadi sesungguhnnya Sanctuary seperti apa yang kamu cari?”
 
Aku membicarakan tentang tempat impian, dan kamu tau. Kebanyakan orang memimpikan tempat yang penuh dengan pesona dunia,  matrealis dan bertahtakan kekuasaan. Dimana kita bisa menjadi apapun tanpa melakukan apapun. Aku kenal dengan beberapa orang yang berpikiran seperti itu. Saat ditanya tentang kehidupan, mereka condong memilih jawaban glamour dengan harta sebagai ujung tombak kisah indah mereka.
 
Aku tidak menyalahkan mereka, semua itu masuk akal dan sangat realistis. Dunia tau, saat kita berkuasa dan bergelimang harta. Segalanya menjadi mungkin, setiap detail mimpi kita semasa hidup akan terekstrak menjadi nyata dengan bantuan itu. Oleh karenanya, aku memaklumi keinginan mereka dan mencoba tidak menginterupsi dongeng yang sedang mereka gambar dengan khidmat.
 
Tapi aku bilang itu jawaban klise, tujuan hidup jutaan umat tanpa terkecuali. Tidak ada yang istimewa dari jawaban mereka. Jawaban kokoh, namun mempunyai lubang yang sangat besar. Aku bisa melihatnya walaupun tidak aku utarakan. Ada bagian yang hilang dari mimpi mereka. Entah karena memang terlupa, atau memang tidak diperhitungkan dalam cerita. Elemen penting dalam hidup yang justru karenanya lah kita hidup.
 
Betul, Cinta.
 
Rancangan kehidupan yang mereka bangun akan menjadi 100% sempurna jika ada cinta di dalamnya. Dari mana? Dari orang-orang terdekat kita. Karena tanpa mereka, istana kita hanya sebuah rumah tempat singgah. Tidak lebih dari itu, bukan tempat untuk berpulang dan menghapus lelah.
 
Jadi menurutku, Sanctuary kehidupan yang terbaru yang tergambar di kepalaku adalah. Suatu tempat dimana aku bisa pulang dan dikelilingi oleh mereka yang aku cinta. Sesederhana itu. Tapi aku tidak akan berhenti menggambar, sampai matipun. Akan ada ornamen baru secara bertahap. Mari lihat apa yang hidup persiapkan dan akan diberikan untukku.
 
Oke. Saat ini cukup, coretan sporadis ini masih jauh dari kata sempurna. Karena saat pengerjaannya fokusku terbelah, dan sedikit ‘kedodoran’ di akhir. Haha.
 
Secepatnya akan ada postingan baru. Maaf untuk postingan yang membingungkan ini.
 
Cheese.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beat Yourself.

Heloow~ Kemarin, tepatnya hari minggu gue abis ada pertemuan sama temen di komunitas gue. Wait... Komunitas? Iya buat yang belum tau, gue jadi salah satu volunteer di komunitas hijau di kota gue. Apa itu volunteer? Volunteer adalah sukarelawan, dia yang punya dedikasi terhadap suatu hal apapun itu dan mau mengerjakannya dengan sukarela tanpa   pamrih. Dia yang mau meluangkan waktu, tenaga, materi untuk kegiatan dengan ikhlas. Yaa, ehm, kaya gue gini. Cukup pengertian tentang volunteer, nanti gue dikira sombong lagi. Yang mau gue bahas disini adalah apa yang gue lakuin bareng mereka, maksud gue yang akan. Jadi kemarin itu kita ngebahas agenda untuk 3 bulan mendatang, Aksi apa aja yang bakal kita adakan untuk memperingati beberapa hari lingkungan kedepan. Seperti biasa, saat rapat berlangsung gue bersikap pasif. Gue emang kurang jago urusan ngomong dan jadi pusat perhatian di forum resmi kaya gitu. Tapi jangan salah ya, kalo disuruh ngomong depan gebetan sih gue u

Selenophile

Baiklah. 10 Agustus 2021 "Sepertinya memang sudah waktunya." Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun. Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah.  Sebuah doa klise yang tidak mungkin

Turbulensi

Beberapa jam sebelum hari kemarin berakhir gue udah hampir collaps. Dengan sederet kejadian mengejutkan yang gue alamin sedari pagi sampe sore yang bisa bikin migrain. Kejadian berantai, maksud gue. Karena hal itu gue jadi ngga bisa melakukan hal ini. Karena hal ini ngga bisa gue lakukan, hal itu akhirnya ngga jadi. Sesuatu semacam itu, kalian pasti paham lah.   Kebanyakan manusia beruntung di hari kelahirannya, ya gue tau itu opini gue aja. Meskipun cuman opini tapi gue yakin banget, soalnya banyak temen/seseorang yang gue tau. Dari cerita yang gue denger dari mereka, ataupun dari yang gue tau. Hoki mereka seakan berlipat. Dan itu yang jadi patokan gue dalam menilai hari kelahiran. Hari yang beruntung.   Tapi semesta punya rencana lain buat gue. Selalu begitu, Tuhan Maha Mengejutkan.