Langsung ke konten utama

Pokus

Daftar teratas dari hal yg ingin gue lakukan saat nulis catatan ini adalah mencekik Randy Saputra sampe megap-megap.

Si Kampret itu hampir menghancurkan seluruh rencana yg udah gue susun dari jauh hari sebelumnya cuman karena keteledoran dia.

Pagi itu, gue bangun jam 4 kurang karena mau ngikutin acara di Senayan. Acara dengan nama Pokus itu adalah acara menangkap Pokémon akbar yang diselenggarakan oleh Kaskus.

Awalnya gue mau dateng sendiri tuh, tapi karena Randy mau ikut juga. Jadilah gue dengan senang hati mengiyakan perihal keberangkatan bersama dari rumah kita. Berhubung rumah kita cukup dekat.

Sampai malamnya, semua udah gue pertimbangkan masak masak. Mulai dari beberapa opsi kesana dan juga perencanaan waktu. Dan dia mengiyakan semuanya. Jadi gue pikir, okelah. Semua bakal berjalan sesuai rundown.


Tapi emang Tuhan selalu punya cara untuk bikin ekspektasi gue lenyap saat dihadapkan dengan realita di lapangan. Hehe


Parah. Gue dari jam 04.10 tuh udah siap nunggu dia. Dan dia bilangnya juga bakal bangun soalnya udh masang alarm. Tapi omongan tetap cuma omongan. Sampai gue missed call lebih dari 20x. Bedebah itu belum juga bangun. Perlahan waktu makin mepet, 04.40 gue memutuskan buat melakukan improvisasi. 😂

Abisnya, rencana gue udh hancur lebur. Ga ada skenario cadangan buat kondisi sekalut itu. Gue udah ketar-ketir yakan. Malah udah janjian sama Meydi di Cipondoh jam 5 kurang.

Dengan segenap keberanian dan seganjil kenekatan. Gue memutuskan buat naek motor sendiri sampai lokasi. Semua tanpa kendali. Waktu yg makin menipis memaksa gue buat mendobrak zona aman gue. Kali itu, gue mengendarai motor sampai Senayan, untuk yg pertama kali.

Berhubung gue ngga bego bego banget. Jadi gue naek motor sambil tangan kiri terus melototin google maps di hape. Dengan kecepatan 60km/jam. Gue percaya Tuhan menitipkan malaikatnya saat itu. Huhu.

Kalo aja si Randi kampret itu bilang kalo ngga mau ikut. Mungkin di jam 04.10 itu gue bisa langsung naek motor ke Stasiun Rawa Buntu di Serpong dan janjian sama Syafiq disana buat jalan bareng.

Tapi apa daya, kalo 04.40 gue nekat ke Rawa Buntu. Semua ga akan bisa terkejar. Lu tau gak. Dari Total Persada sampai Palmerah gue tempuh dalam waktu 60 menit. Kurang gila gimana lagi.

Tapi pada akhirnya semua berjalan baik. Terimakasih Tuhan. Skenario yg diluar dugaan itu betul betul bikin otak gue yg kritis ini jadi berguna. Pengambilan keputusan, keberanian, insting. Semua sukses gue paksa keluar. Hehe

Btw gue ngga menang di acara itu.
Gpp lah, toh yg gue incar cuman kaos sama badge. Yang untungnya gue berhasil dapet.
 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beat Yourself.

Heloow~ Kemarin, tepatnya hari minggu gue abis ada pertemuan sama temen di komunitas gue. Wait... Komunitas? Iya buat yang belum tau, gue jadi salah satu volunteer di komunitas hijau di kota gue. Apa itu volunteer? Volunteer adalah sukarelawan, dia yang punya dedikasi terhadap suatu hal apapun itu dan mau mengerjakannya dengan sukarela tanpa   pamrih. Dia yang mau meluangkan waktu, tenaga, materi untuk kegiatan dengan ikhlas. Yaa, ehm, kaya gue gini. Cukup pengertian tentang volunteer, nanti gue dikira sombong lagi. Yang mau gue bahas disini adalah apa yang gue lakuin bareng mereka, maksud gue yang akan. Jadi kemarin itu kita ngebahas agenda untuk 3 bulan mendatang, Aksi apa aja yang bakal kita adakan untuk memperingati beberapa hari lingkungan kedepan. Seperti biasa, saat rapat berlangsung gue bersikap pasif. Gue emang kurang jago urusan ngomong dan jadi pusat perhatian di forum resmi kaya gitu. Tapi jangan salah ya, kalo disuruh ngomong depan gebetan sih gue u

Selenophile

Baiklah. 10 Agustus 2021 "Sepertinya memang sudah waktunya." Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun. Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah.  Sebuah doa klise yang tidak mungkin

Turbulensi

Beberapa jam sebelum hari kemarin berakhir gue udah hampir collaps. Dengan sederet kejadian mengejutkan yang gue alamin sedari pagi sampe sore yang bisa bikin migrain. Kejadian berantai, maksud gue. Karena hal itu gue jadi ngga bisa melakukan hal ini. Karena hal ini ngga bisa gue lakukan, hal itu akhirnya ngga jadi. Sesuatu semacam itu, kalian pasti paham lah.   Kebanyakan manusia beruntung di hari kelahirannya, ya gue tau itu opini gue aja. Meskipun cuman opini tapi gue yakin banget, soalnya banyak temen/seseorang yang gue tau. Dari cerita yang gue denger dari mereka, ataupun dari yang gue tau. Hoki mereka seakan berlipat. Dan itu yang jadi patokan gue dalam menilai hari kelahiran. Hari yang beruntung.   Tapi semesta punya rencana lain buat gue. Selalu begitu, Tuhan Maha Mengejutkan.