Langsung ke konten utama

35 Menit Menuju Tangerang

18.30 Jumat, 5 Agustus 2016
 
Drap...Drap...Drap...
 
Sepasang sandal yang tengah beradu dengan lantai Stasiun Duri jadi sedikit pengingat bahwa hari itu perjalananku sedari pagi hampir berakhir. Tidak terlalu berisik, karena saat berjalan aku akan mengangkat kakiku dan meletakkannya dengan hati-hati. Terinspirasi dari beberapa film barat yang tokoh utamanya hampir selalu berjalan ataupun berlari tanpa menimbulkan suara.
Bagaimana bisa? Sepatu boots yang besar itu tidak membuat gaduh saat bersinggungan dengan lantai.

Jadi aku selalu meniru gaya berjalan mereka, walaupun susah pada awalnya. Tapi tetap aku biasakan. Itu keren. Aku tidak suka dengan orang yang ketika berjalan menciptakan suara yang sebegitu riuh. Kakinya seperti kuda di jalan aspal, berisik sekali.
Sandal gunung warna hitam itu sudah berumur 2 tahun lebih, termasuk awet untuk ukuran alas kaki yang sangat sering dipakai. Kemanapun, untuk kegiatan apapun. Tidak ada penurunan berarti dari segi fisik, selain label merknya yang copot dan juga warna talinya yang sedikit memudar. Bantalannya masih empuk, solnya pun tidak menipis seperti sandal pada umumnya. Ternyata memang benar yang sering orang ucapkan. Harga itu sebanding dengan kualitas.
Dari kejauhan aku sudah mengunci pandangan ke seberang. Beberapa meter dari pintu masuk, di peron 3 itu kereta yang akan mengantarkanku sudah terparkir dengan manis. Aku melihat satu persatu gerbong yang terpampang. Kebanyakan kosong. Wajar saja, di hari Jumat walaupun pada jam pulang kantor sekalipun volume penumpangnya sangat jauh jika dibandingkan dengan hari Senin atau Selasa. Pada hari biasanya aku harus berlari-lari kecil untuk menempatkan tubuhku diantara kerumunan dalam gerbong. Tapi untuk hari Jumat cerita itu agak berbeda.

Lama aku diam di depan gerbong yang sejajar dengan pintu masuk. Mungkin sekitar 3 menit. Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya diam. Dan menikmati suasana saat itu yang sepertinya sangat biasa-biasa saja.
Kiri atau Kanan.

Kanan.

Setelah sedikit bernegosiasi dengan diri mengenai hal yang tidak penting. Akhirnya aku kembali melangkah ke arah kanan dari tempat aku berdiri. 1, 2, 3, lalu gerbong ke-4 inilah yang jadi gerbong paling beruntung diantara teman-temannya karena telah terpilih olehku sebagai tempat terakhir aku menambatkan kaki selama 45 menit kedepan.
Keadaan sekitarku masih cukup lengang meskipun 5 menit lagi kereta akan lepas landas. Sekarang posisi tempat aku berdiri tepat berada di depan jendela dan dapat pemandangan penuh dari sisi kanan. Walaupun pemandangannya tidak cukup jelas dikarenakan sudah malam hari dan kereta melaju sangat cepat, tapi aku tetap suka melihat ke luar sana. Ada sedikit perasaan senang saat melihat sekumpulan pengendara motor dan mobil yang harus berhenti dan berdesakan di belakang portal saat kereta tengah lewat. Perasaan seperti,
Rasain, makanya naik kereta!

atau juga
Hahaha, sabar ya.

Semacam itu lah.
Pijakanku bergetar, semua penumpang tersentak ke belakang. Keberangkatan yang sudah ditunggu pun akhirnya terlaksana. Sebentar aku mengedarkan pandanganku ke dalam gerbong. Tidak berubah. Hanya manusia yang dengan angkuh memainkan gadgetnya masing-masing. Aku benci mengatakannya tapi ini salah satu dampak terburuk dari perkembangan teknologi. Nilai sosial yang tergerus secara brutal pada masyarakat urban. Mengerikan.
Jika dibandingkan dengan kampung halaman yang bukan tanah kelahiranku, di Yogyakarta. Perbedaan dalam hal interaksi sosial  antar masyarakatnya bagai langit dan bumi. Dulu saat aku menaiki sebuah angkutan kota dari Piyungan ke arah Wonosari contohnya. Aku hitung ada lebih dari 5x orang yang mengobrol satu sama lain. Dua diantaranya melibatkan aku. Suasana hangat yang tercipta karena hal itu benar-benar membuat kesan yang luar biasa. Hal sederhana yang  sangat mewah.
Di arah jam 2 dari tempatku ternyata ada seorang Kakek sedang berdiri memegangi tiang sudut kursi, ditambah dia membawa tas punggung yang dari tampilan fisiknya aku perkirakan berisi penuh. Sontak aku meradang. Tatapan sinisku tertuju pada 3 wanita berumur kira-kira 25-35 tahun yang duduk berjejer disebelah kakek itu.
Mereka ngga punya mata?

Rasanya ingin aku siram ketiganya dengan air dari tumblerku, tapi urung. Mengingat perkara setelahnya yang bakal panjang. Jadi aku memutuskan membantu dengan menawarkan menaikkan tas kakek tersebut ke atas. Tapi dia menolak,
“Ngga apa-apa. Sebentar lagi turun kok.” Jawabnya.
Yasudah jika begitu, dan benar saja ternyata dia berhenti pada stasiun ke-3. Meskipun demikian tetap saja aku sangat menyayangkan sifat dari ketiga wanita tersebut. Rasa empati mereka sepertinya telah menguap jauh jauh tinggi. Padahal aku tau, kalo mereka melihat si Kakek berdiri. Tapi malah asyik dengan gadgetnya masing-masing.
Apa yang telah ibukota perbuat pada wanita-wanita itu. Hanya Tuhan yang tau.

Semesta - Maliq & D’essentials jadi lagu pengiring pertama yang berhadapan langsung dengan deru mesin kereta. Suara dan lantunan nada yang lembut, juga lirik yang tidak murahan dari band itu menjadikan karya mereka menjadi salah satu yang terbanyak pada playlist musikku. Tapi sebenarnya aku bukan tipe manusia yang senang mendengarkan musik saat sedang berada pada perjalanan, entah bagaimana earphone ini bisa mencocokkan dirinya dengan telingaku saat ini. Agaknya memang anomali.
Karena buatku makna sebuah perjalanan adalah bagaimana kita bisa menikmatinya dengan fokus pada elemen perjalanan itu sendiri. Jika dalam kereta ini contohnya, pikiranku pasti akan terpatri pada jalanan yang aku lalui, keadaan sekitar, kondisi penumpang lainnya, sampai penalaran deduksi sederhana tentang mereka. Dan semua itu tidak bisa aku lakukan jika harus bercampur dengan kegiatan lain seperti mendengarkan musik atau membaca. Hal itu hanya akan memecah konsentrasi. Tapi tidak hari ini.
Lagu pembuka itu hampir habis, hanya menyisakan instrumen pada bagian epilog. Tatapanku masih lekat ke arah jendela. Semua terlihat biasa, lalu perlahan ada warna lain yang terpampang di depan kornea mataku.
Semua ketidakbiasaan hari ini sepertinya akan sempurna.

5 menit kebelakang mungkin akan menjadi salah satu penyesalan yang patut untuk diingat. Tidak mungkin, bagaimana pemindaiku bisa mengalami kesalahan. Padahal aku yakin tingkat akurasi dan ketepatannya ada diatas 90%. Tapi kenapa sesosok makhluk yang jelas-jelas berdiri disebelahku ini terlewati begitu saja. Lengah.
Rambut hitamnya panjang tergerai, beberapa helainya bahkan tertiup sampai ke bahu kiriku. Tangan kanannya persis berada di sebelahku, memegang erat pegangan yang terdapat di sepanjang kereta. Bertolak belakang dengan telapak tangan kiriku yang hanya terpaut 10cm. Dari raut mukanya aku perkirakan kalo umurnya tidak jauh berbeda denganku. Mungkin dibawahku satu tahun, sekitar 20 tahun. Air mukanya riang dan penuh warna, seperti kebanyakan remaja wanita bahagia pada umumnya.
Yang jadi perhatianku selanjutnya adalah setelannya saat itu. Semua serba putih. Mulai dari kemeja lengan pendek yang tampak semakin berkilau karena dipadu kulitnya yang tidak kalah putih, celana bahan berwarna khaki, dan sepatu sport dengan warna dasar putih dengan warna logo hitam. Bahkan tali sepatu dan kaus kakinya pun seirama dengan sepatunya. Bukan dandanan spontan, pasti dia sudah mempersiapkannya dari jauh-jauh hari. Semakin menegaskan jika dia habis menghadiri sesuatu yang pemting.
Tas punggungnya berwarna biru dongker, penuh. Tidak ada warna lain lagi yang aku lihat. Tapi dia tidak memakainya di punggung, melainkan mengedepankan posisinya. Sehingga tas itu berada di dekapannya. Posisi tas seperti itu memang sangat sering dijumpai pada seseorang yang menaiki angkutan umum. Untuk lebih meningkatakan keselamatan barang bawaan. Aku pun kadang seperti itu saat isi tasku sedikit dan ringan. Tapi jika bawaanku banyak dan berat aku lebih suka menaruhnya di atas tempat duduk, di tempat yang sudah disediakan.
Wanita itu tidak terlalu tinggi, masih beberapa senti dibawahku. Tapi siapa peduli, aku sudah menguncinya sejak lagu Daniel Bedingfield menggantikan lagu Maliq & D’Essentials tadi.
Siapa sangka jendela besar di depan kita yang akan memiliki peran penting disini. Warnanya yang hitam karena minimnya cahaya dari luar membuatnya bisa memantulkan bayangan dari dalam kereta layaknya cermin. Aku beberapa kali melihatnya sedang melihat ke jendela, sekadar untuk merapikan rambutnya atau hanya berkaca saja untuk melihat wajah lucunya. Memang perempuan selalu begitu.
Di sepanjang perjalanan itu aku sudah tidak bisa berpaling lagi, entah kenapa. Seluruh urat syaraf di leherku menegang dan berkontraksi. Membuatku tidak bisa menoleh ke arah lain, hanya satu titik yang dapat aku jangkau. Ke arahnya.
Beberapa menit berlalu, kereta masih melaju dengan kecepatan padu. Cuaca diluar juga sangat cerah, sebelum masuk ke stasiun tadi aku sempat melihat ke arah langit. Tidak ada tanda dari awan kelabu sejauh mata memandang yang akan merusak hariku saat itu.
Pada awal mulanya semua berjalan lancar. Aku bebas memandanginya pada setiap incinya, setiap detiknya. Namun tidak untuk waktu yang lama. Agaknya ia menyadari perihal mataku yang tidak berhenti melakukan kontak dengannya. Dan iya, sepersekian detik kemudian dia pun menghujamkan tatapan matanya untuk melihat kearahku. Langsung melalui pantulan bayangan pada jendela.
I Got You.

Detik yang sudah diprediksi akhirnya datang juga. Sebisa mungkin aku mengendalikan diriku dan tetap tenang. Aku memang menanti momen ini sedari tadi. Dan Tuhan akhirnya mengabulkan. Tanpa ada rasa grogi atau canggung aku tetap memusatkan mataku ke matanya. Kontak mata kami pun tidak bisa terhindarkan lagi, dia melihatku dengan tatapan bertanya apa yang salah denganku sedangkan aku melihatnya dengan sorot mata tajam seakan mengatakan bahwa dia adalah wanita terindah yang aku temui hari ini. Dan memang kenyataannya seperti itu.
Waktu memuai, gerbong kereta yang kami naiki serasa ruang hampa udara yang hanya berisikan aku dan dirinya. Hampir aku tercekat dan tersedak dibuatnya. Pandangan itu semakin runcing, betul-betul menguji nyaliku. Tapi tentu, aku tidak akan kalah. Karena aku sudah terlatih dan mahir dalam melakukan adu tatapan mata. Bukan karanganku semata, karena sudah teruji sebelum-sebelumnya. Namun aku akui wanita ini cukup tangguh.
30 detik lebih, akhirnya dia berhenti mengaitkan sorotannya. Memalingkan muka ke arah sebaliknya dan nampak salah tingkah dibuatku. The Long and Winding Road karya The Beatles membantu membuatku jauh lebih rileks saat kontak itu berlangsung. Entah bagaimana aku mengucapkan terimakasih kepada mereka.
Aku bisa melihat pipinya merona dan warna kulitnya yang putih perlahan menjadi merah.
Apa aku menang?

Kelanjutannya bisa ditebak. Aku masih tetap memandangnya, dan dia bertingkah aneh terus-terusan. Mulai dari menutupi wajahnya dengan rambut atau lengannya. Sampai sedikit mencuri pandang kearahku melalui jendela dan kembali menutup wajahnya dengan lengan kanannya saat mendapati aku masih menancapkan sorotku ke titik dibawah pelipisnya. Semakin lucu.
Menit berlangsung dengan cepat, dia sepertinya lupa jika aku masih tetap melihat ke arahnya. Ada momen dimana ia perlahan menguap lalu melihatku dan langsung secepat mungkin menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Pipinya pun kembali berubah warna saat itu. Namun meskipun suasana gerbong cukup lengang, dia tidak beranjak dari sebelahku. Sepertinya kita mempunyai pikiran yang sama saat itu. Ya, kita saling menikmati peran masing-masing dalam permainan aneh ini.
Aku yakin Tuhan memang turut serta dalam skenario singkat di dalam kereta itu. Tempat aku berhenti dan turun dari gerbong adalah Stasiun Tangerang yang mana merupakan stasiun terakhir. Lalu saat pertanyaan “Sampai dimana dan kapan semua ini akan berakhir.” di benakku mengudara, Tuhan sudah menjawabnya dengan sebuah hal nyata.
Tempat dimana ia berhenti adalah tempat dimana aku berhenti.
Aku bahkan sudah menyiapkan beberapa cara agar bisa berkenalan dengannya saat kita berpapasan di depan pintu keluar nanti. Dan aku yakin dia pasti akan menerimanya dengan senang hati. Bermacam rekonstruksi sudah berjejer rapi di pikiranku, kemudian tinggal memilah salah satu yang paling cocok dan berkesan.
Musik di telingaku masih berdentum ringan, tidak terlalu keras tapi masih terdengar jelas. Daftar putar yang aku mainkan berisikan seluruh lagu yang ada di handphoneku. Dengan pengaturan acak pada lagu selanjutnya. Semacam penguji keberuntungan. Jika keberuntunganku sedang bagus, aku akan mendapatkan lagu yang sangat aku suka. Begitupun sebaliknya, kemungkinan mendengarkan lagu yang sedang tidak ingin aku dengarkan pun sama besarnya. Lalu semuanya menjadi kemungkinan terburuk yang aku bicarakan tadi.
Stop Crying Your Heart Out yang dibawakan band Oasis adalah salah satu lagu favoritku. Sungguh. Namun tolonglah, aku sangat tidak ingin mendengarkannya saat ini. Hal itu tidak bukan karena lagu ini merupakan soundtrack salah satu film favoritku, The Butterfly Effect. Pada bagian akhir film, yang aku akui merupakan ending yang cukup menguras emosi itu adalah saat dimana lagu ini diputar. Dan aku sama sekali tidak ingin bagian tersebut ada di cerita singkatku di kereta sekarang.
Just try not to worry, you’ll see them someday.
Beberapa menit sebelum kereta tiba di stasiun akhir, aku melihatnya kembali melihatku. Dengan tatapan lembut dan merangkul. Aku bisa membaca tatapannya, itu tatapan selamat tinggal. Dan benar saja, setelah beberapa detik memandangku ia menunduk dengan gerakan perlahan. Kemudian mengangkat kepalanya kembali ke posisi semula. Ia memaksaku menebak apa yang akan dirinya lakukan, dan itu cukup menyiksa.
Senyuman itu. Terlihat sangat manis, dan tulus. Tepat diarahkan ke mataku yang diperantarai oleh jendela hitam besar dihadapan kita. Aku dibuat mati kutu. Lengkungan bibir yang memiliki banyak arti tersebut masih belum bisa aku uraikan sampai saat ini.
Apa yang sebenarnya ingin kamu ucapkan?
Lalu tebakanku ternyata tidak meleset. Beberapa detik setelahnya ia melepaskan genggamannya. Mundur satu langkah, lalu bergerak perlahan ke sisi lain gerbong. Melewati diriku yang masih terpaku dan melangkah ke gerbong yang berada di sebelah kananku.
Disaat leherku sudah berfungsi secara normal aku langsung menghamburkan wajahku ke arah kanan. Tapi terlambat, yang tersisa untuk dilihat olehku hanya punggungmu yang semakin menjauh. Hanya rambutmu yang perlahan menghilang diantara orang-orang di gerbong itu.
Kereta terhenti. Kerumunan orang keluar dari setiap gerbong dan menyesaki peron 1. Semua berjalan ke satu arah, pintu keluar. Tapi tidak denganku, aku masih berdiri di tempat pertama aku melangkah keluar. Mencoba memindai banyak orang yang lalu-lalang itu satu-persatu. Jangan tanya kenapa aku melakukannya.
Namun nihil.
Sekali lagi, Tuhan memberiku sebuah realita yang bertabrakan dengan ekspektasi. Dan terimakasih untukNya karena memberikan sedikit cerita yang indah sebagai pembuka akhir pekanku.
Stasiun kembali menjadi saksi tentang sebuah perkenalan yang tidak mendapatkan restu dari semesta. Tentang sebuah harap yang sirna. Tentang sebuah kisah yang berakhir bahkan sebelum kisah itu dimulai.
 
“Juga tentang perpisahan. Aku belum paham betul mengenai arti yang sebenarnya. Apakah kita bertemu dengan perpisahan, atau kita yang berpisah dengan pertemuan. Bagaimana cara menamakan keadaan ini? Yang kita tau hanya kita berjalan sendiri ke arah yang berbeda. Masing-masing. Lalu disebut apa itu sebenarnya? Perpisahan atau pertemuan?”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beat Yourself.

Heloow~ Kemarin, tepatnya hari minggu gue abis ada pertemuan sama temen di komunitas gue. Wait... Komunitas? Iya buat yang belum tau, gue jadi salah satu volunteer di komunitas hijau di kota gue. Apa itu volunteer? Volunteer adalah sukarelawan, dia yang punya dedikasi terhadap suatu hal apapun itu dan mau mengerjakannya dengan sukarela tanpa   pamrih. Dia yang mau meluangkan waktu, tenaga, materi untuk kegiatan dengan ikhlas. Yaa, ehm, kaya gue gini. Cukup pengertian tentang volunteer, nanti gue dikira sombong lagi. Yang mau gue bahas disini adalah apa yang gue lakuin bareng mereka, maksud gue yang akan. Jadi kemarin itu kita ngebahas agenda untuk 3 bulan mendatang, Aksi apa aja yang bakal kita adakan untuk memperingati beberapa hari lingkungan kedepan. Seperti biasa, saat rapat berlangsung gue bersikap pasif. Gue emang kurang jago urusan ngomong dan jadi pusat perhatian di forum resmi kaya gitu. Tapi jangan salah ya, kalo disuruh ngomong depan gebetan sih gue u

Selenophile

Baiklah. 10 Agustus 2021 "Sepertinya memang sudah waktunya." Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun. Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah.  Sebuah doa klise yang tidak mungkin

Turbulensi

Beberapa jam sebelum hari kemarin berakhir gue udah hampir collaps. Dengan sederet kejadian mengejutkan yang gue alamin sedari pagi sampe sore yang bisa bikin migrain. Kejadian berantai, maksud gue. Karena hal itu gue jadi ngga bisa melakukan hal ini. Karena hal ini ngga bisa gue lakukan, hal itu akhirnya ngga jadi. Sesuatu semacam itu, kalian pasti paham lah.   Kebanyakan manusia beruntung di hari kelahirannya, ya gue tau itu opini gue aja. Meskipun cuman opini tapi gue yakin banget, soalnya banyak temen/seseorang yang gue tau. Dari cerita yang gue denger dari mereka, ataupun dari yang gue tau. Hoki mereka seakan berlipat. Dan itu yang jadi patokan gue dalam menilai hari kelahiran. Hari yang beruntung.   Tapi semesta punya rencana lain buat gue. Selalu begitu, Tuhan Maha Mengejutkan.