Pernah suatu waktu di sebuah ruang pada sebuah gedung berlantai 3. Dimana terdapat puluhan manusia berjejalan pada satu tempat yang luasnya tidak lebih dari lapangan basket. Berdesakan dengan kursi dan meja yang diatur sedemikian rupa sehingga memuat mereka pada tiap-tiapnya. Aku bisa melihatnya. Masing-masing dari mereka memiliki puluhan tanda tanya yang bergumpal di kepala. Seperti kenapa, bagaimana, dan sanggup atau tidaknya. Selain itu ada juga ketidakpedulian yang semu yang coba digaungkan segelintir manusia karena mencoba tidak acuh dengan situasi.
Jika keseluruhannya dikolaborasikan, tempat itu jadi punya riuh yang cukup unik, tapi juga hambar. Serangkaian obrolan sporadis yang meletup dari berbagai sudut. Suara yang belum pernah kita dengar sebelumnya. Percakapan dia dengan temannya lalu aku dan temanku juga temannya dengan dia. Semua samar, pembicaraan repetitif itu selalu pada target yang sama.
Pemandangan di hadapan kita masih kosong, belum ada satupun orang tua yang hadir disana. Alasan kenapa ruangan gaduh itu tetap bersuara seperti yang semestinya. Mereka masih leluasa bercengkerama dalam sebuah kotak masing-masing. Tanpa berani melihat ke seberang, ke lokasi asing yang kurang menyenangkan. Benang itu belum terurai.
Kalau kamu bagaimana, disaat itu?
Hari pertama masuk kelas pada masa putih abu-abu memang punya memori tersendiri. Untungnya aku tidak terlalu kerepotan dalam ajang adaptasi dengan level yang berbeda dari sebelumnya tersebut. Terimakasih untuk teman sebangku yang juga sahabat sedari celana panjangku berwarna biru yang telah hadir disana. Lagi.
Di satu waktu aku sempat bertanya kepadanya mengenai seseorang, yang cukup menyebalkan saat kita berada di kelas. Karena gerak-geriknya yang konyol dan tidak mau diam itu telah membuat aku senewen berkepanjangan.
"Ngapain sih dia?"
Hanya pertanyaan retorikal, aku tidak mengharapkan jawaban karena aku tau Rifan juga pasti tidak tau alasannya. Tapi tetap saja, gadis berkerudung putih pada jam 11 tempat duduk kami terus menerus membuat gerakan anehnya. Dia menggerak-gerakkan badan ke kiri dan ke kanan secara terus-menerus. Semakin lama semakin menjengkelkan. Sampai suatu waktu aku menyuruhnya diam. Menggunakan bahasa yang sopan dengan artikulasi jelas dan nada yang stabil.
Tak digubris, dia melengos begitu saja tanpa mengindahkan pertanyaanku. Dia menoleh beberapa detik dan menemukan orang asing sok tau yang dipikirannya mungkin sedang mencari perhatian. Sehabis itu ia langsung membuang muka. Aku membenarkan kalau saat itu kita masih belum kenal dan berpredikat orang asing. Tidak apalah, respon yang wajar.
Kesan pertama yang aneh, dan bahkan sampai sekarang pun aku masih belum paham alasan dia melakukan itu. Hahaha
Hari perlahan berganti, Bulan mulai tanggal satu demi satu, tahun berlalu layaknya terburu-buru. Seseorang yang aku ceritakan diatas telah berganti menjadi seseorang yang baru. Aku harus berterimakasih pada waktu dalam hal ini. Kepada waktu, dan garis takdir yang telah terlukis. Karenanya kita bisa mengenal satu sama lain lebih, dan lebih lagi.
Tidak ada Whatsapp, Line, atau Telegram pada saat itu. Atau ada tapi belum familiar untuk digunakan, jadilah kita berkomunikasi melalui pesan singkat biasa. Merepotkan kalau aku pikir, karena ketersediaan karakternya yang dibatasi, hanya ada 140. Selain itu ada beberapa provider yang membebankan harga yang patut diperhitungkan buat kalangan anak sekolah
Meskipun aku bilang merepotkan, tapi juga punya kesan tersendiri. Bagi tiap orang, dengan arti yang berbeda-beda.
Salah satu kesamaan baik aku atau kamu adalah film, benar kan? Kita berdua suka membahas perkara cerita fiksi pada layar yang diisi oleh deretan aktor. Hanya saja untuk genre aku rasa kamu punya selera yang berbeda. Lalu anehnya aku bisa turut serta menyukai apa yang kamu coba doktrin pada saat itu. Walaupun sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan genre horor. Tapi entah bagaimana kamu bisa meyakinkan aku buat menonton sebuah film drama horor pada salah satu televisi swasta. Di malam hari.
Sepanjang jalan cerita yang diselingi dengan bunyi pemberitahuan pesan masuk. Aku tidak bisa bilang jika hal tersebut bukan merupakan salah satu scene favorit.
Perlahan-lahan sepertinya aku mulai paham mengenai apa yang aku 'derita'. Peran pada sebuah skenario usang yang aku ingat belum pernah aku baca, tetapi alurnya terpatri pada dinding jantung. Kita berdua saling tahu. Tapi jangan khawatir, aku tidak berencana melakukan hal lain. Langit masih tetap biru, aku tidak akan sampai hati jika harus menempatkan awan untuk mengurangi keindahannya. Membiasakan diri dibawah atap yang sudah sedemikian cantiknnya tentu bukan pekerjaan sulit.
Sebuah latar mengenai apa yang terjadi yang berisikan beberapa orang termasuk kita, terekam sempurna pada tulisan atau ingatan. Aku masih berhutang permintaan maaf padamu, perkara itu, dan lain-lain.
Ada beberapa keberangkatan dan kepulangan yang cukup panjang tapi layak untuk dijalani. Karena siapa lagi kamu kira? Kira-kira jam 8 malam pada waktu kita berada pada sebuah kendaraan umum, mendengar lagu yang diputar keras oleh sang empunya mobil. Berisik sekali, sampai kamu berkata,
"Eh ini lagu judulnya apa ya? Kayanya pernah denger."
Dan kelanjutannya bisa ditebak, aku mendengarkan dengan seksama lagu yang akan segera habis tersebut. Berharap mendapatkan petunjuk, tapi nihil. Aku tidak tau lagu tersebut, hanya beberapa lirik yang bisa aku simpan di kepala. Esoknya bermodalkan sepenggal kata aku mencari melalui internet mengenai apa dan siapa. Dan akhirnya aku temukan. Hal sederhana, kalau boleh aku bilang. Tapi cukup melekat sampai saat ini.
Pada hari dimana aku memuat tulisan ini, adalah hari dimana seharusnya kita bertemu. Maksudku hari ini. Sebenarnya draf ini sudah ada sejak tahun 2015, serius. Tapi kebiasaan menunda memang telah menjadi kebiasaan buruk, maaf ya. Akhirnya hari ini mau tidak mau aku harus menyelesaikan sesuatu yang telah aku mulai, seperti biasa.
Dan lagi mengenai paragraf-paragraf diatas yang kiranya cukup mendayu-dayu. Aku takut tidak bisa menuangkan yang seperti itu kalau harus menunda lagi.
Seperti yang dikatakan Einstein, terus bergerak membuatmu seimbang dan tidak jatuh. Kita yang sekarang sepertinya sukses mengadopsi inti dari kalimat tersebut. Kamu yang terus bergerak, juga aku yang berbuat demikian. Sayangnya mungkin tujuan kita sudah terlampau jauh dari sebelumnya. Meninggalkan sebuah tempat dimana kita bisa saling bertemu disetiap harinya. Masing-masing dari kita berdiri pada sebuah roda yang terus berputar tidak perduli apapun. Membawa kita menjauhi satu sama lain karena satu dan lain hal.
Semua tampak berbeda sekarang. Walaupun aku tau itu adalah konsekuensi dari kehidupan itu sendiri. Tetap saja ada sedikit bagian yang belum menerima. Bagian itu perlahan terkonsentrasi menjadi lebih kecil yang aku rasa layak untuk disimpan. Bukan hal yang menakjubkan, cuma sedikit mengenai kata yang masih berpijar.
Kedepannya mungkin akan lebih sulit bagi kita untuk sekedar bertegur sapa atau melempar salam. Karena seperti yang aku ucapkan sebelumnya, sesuatu berjalan lebih cepat dari yang kita sadari. Situasi yang dinamis ini memang terkadang menyudutkan keberadaan sepenggal kenangan. Tapi tenang saja, aku sudah dan harus membiasakan diri. Tidak apa, meski kadang rindu ini begitu susah diatur. Aku masih menyimpan potongan kecil padat berupa inti dari keseluruhan. Dimana aku bisa melihatnya setiap kali aku menginginkannya.
Setelahnya lagi, pada hari ini. Aku menginginkan segala yang terbaik yang bisa kamu raih. Sesuatu yang bisa kamu ceritakan kelak saat jarak ini tiada. Kepada kita, sahabat yang pernah mengisi harimu walau hanya sekejab mata. Teruslah bergerak menuju tempat dimana belum ada seorangpun dari kita pernah menginjakkan kaki disana.
Semoga seluruh doa dan semua yang kamu usahakan bersambut dengan ridhoNya. Terdengar klise bukan? Tidak apa lah, namanya juga doa. Lalu apapun yang kamu inginkan di hari yang spesial ini agar berjalan dengan sesuai. Tidak kurang, bahkan lebih. Entah apapun itu.
Selamat berulangtahun, untukmu seorang.
Komentar
Posting Komentar