Langsung ke konten utama

The Wall

Waktu dulu, saat gue masih belum paham banget soal kerumitan menjadi manusia. Sewaktu kecil disetiap tahunnya. Gue selalu punya mimpi hebat yang kalo boleh gue bilang selalu berganti tiap September. Semakin muda umur gue semakin liar mimpi gue tentang apapun di dunia ini. Ada beberapa contoh impian yang luar biasa ekstrem yang kalo gue pikirin sekarang tuh bisa bikin ketawa sendiri. Aneh, kenapa gue dulu bisa punya pikiran kesana. Hahaha
 
 
Tapi itulah salah satu kenikmatan yang dihasilkan seorang anak kecil. Tanpa memandang sesuatu yang bernama realitas, imaji mereka mampu melewati segala hal. Tidak perlu berunding dengan bagaimana dan seperti apa, tujuan yang mereka gaungkan dengan mudah bisa terpampang. Ketika apa yang mereka inginkan dengan bangga diproklamirkan dihadapan teman, keluarga, mengenai sesuatu yang tidak sanggup dimengerti saat mereka cukup umur kelak.
 
 
Apa itu yang namanya sifat polos? Gue yakin iya.

 
Kalo gue sendiri nih ya, seinget yang bisa gue inget. Dulu gue pernah punya impian ke Siberia tanpa tahu dimana letak daerah tersebut. Gue bisa punya keinginan tersebut karena dulu gue sering baca komik yang terdapat setting lokasi di Siberia. Gue punya gambaran yang didapat dari membaca kalo Siberia adalah sebuah lokasi yang menyenangkan, dingin, dan penuh salju. Dengan banyak danau beku untuk bermain ice skatting.  Dimana tiap malam selalu ada perapian yang siap menghangatkan seisi rumah. Juga di setiap siang gue dan temen-temen pergi keluar untuk nyari kayu bakar di hutan dekat rumah. Nampak asyik kan?
 
 
Lalu ada mimpi dimana gue menempatkan diri sebagai seorang astronot, serius. Kita semua pasti pernah ditanya sama guru atau orang yang lebih tua pas kita kecil. Pertanyaan yang sama, dan retorika saja sebagai tanda basa-basi. Tapi gue dulu ngga paham apa itu basa-basi dan menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban serius.
 
 
"Kamu cita-citanya jadi apa?"
 
 
Pertama kali denger pertanyaan tersebut gue mikir keras, ngga langsung gue jawab. Ada jeda dimana gue mikir buat nyari sebuah profesi yang keren. Yang bisa gue pamerin ke temen-temen deket gue nanti. Sekelebat rentetan profesi di kepala gue tentu hanya berisi sedikit pilihan. Maklum, gue yang dulu masih cetek pengetahuan soal ini. Yang ada di kepala bocah berumur kurang dari 10 tahun saat itu berupa; Dokter, Guru, Pilot, dan Astronot.
 
 
3 terdepan gue rasa kurang keren dibanding 1 pilihan terakhir yang muncul di otak gue. Seorang dokter, seorang guru, dan seorang pilot udah sering banget gue denger dari mulut temen gue. Gue butuh sesuatu yang lain. Karena gue paling anti yang namanya disamain, gue harus jadi yang terbaik. Nomor 1. Mereka ngga boleh sama kaya gue. Pada akhirnya gue sadar kalo perasaan tersebut yang kiranya masih gue milikin sampai sekarang ini. Dan 1 profesi terakhir diatas tentu jadi yang paling jarang diketahui temen-temen gue, bahkan mungkin tidak ada. Entah, walaupun dulu gue masih ngga ngerti apa-apa. Tapi gue bisa pastiin kalo mereka lebih ngga ngerti apapun dibandingkan gue.
 
 
 Lalu dengan mantap gue jawab,
 
"Mau jadi Astronot."
 
 
Begitu besar mimpi anak itu bukan? Dengan sumringah dan polosnya kalimat tersebut meluncur keluar dari mulut. Tanpa pertanggungjawaban berarti dikemudian hari.
 
 
Masih dimaklumi.
 
 
2 contoh diatas adalah saat dimana gue masih sangat polos, dengan pikiran seadanya gue mencoba buat membangun sebuah lokasi ajaib yang bertempatkan gue didalamnya. Skenario kecil-kecilan dari manusia yang bahkan belum tau apa sebenarnya yang disebutkannya. Janji abu-abu yang diucapkan pada diri sendiri.
 
 
Gue tumbuh dengan melupakan semuanya, perlahan. Impian itu gue tanggalkan karena kayanya gue terlalu muluk dan nekat.
 
 
Pada umur hampir 17 tahun. Semua tampak menciut. Impian lainnya juga sirna dimakan realita. Semua mengecil dan melemah. Saat satu harapan yang sudah gue bangun dengan begitu megah, pasti, selalu saja ada dinding yang menekannya. Rasanya seperti saat kita sedang berada pada satu ruangan. Lalu seluruh dinding itu bergerak mendekat. Menghimpit. Membuat sesak sampai hampir mati demi menjaga impian kita yang besar tersebut pada sebuah tempat yang semakin mengecil.
 
 
Gue ngga bisa menahannya, lagi. Balon itu harus gue relakan kehilangan ukurannya dan kembali ke bentuk semula karena ukurannya sudah tidak memungkinkan untuk berada ditempat ini. Gue harus cari balon lain yang lebih kecil. Dengan warna lain dan ukuran lain. Agaknya pencarian baru akan usai sampai nanti ruangan ini membolehkan, sampai dinding berhenti bergerak dan mengizinkan gue memegang balon tersebut sepenuh hati.
 
 
Pernah suatu waktu sepertinya saat gue SMP, gue punya 2 impian yang kayanya masih masuk akal.
 
Yang pertama adalah gue pengen banget belajar bikin martabak telur. Gue dari dulu suka banget sama martabak telur, sungguh. Dari bermacam alasan, yang paling gue suka yaitu proses pembuatannya. Keren banget ngga sih? Adonan yang tadinya kecil dan ukurannya tidak lebih dari genggaman. Bisa jadi selebar dan sepipih itu. Kalo ada yang tanya apa yang gue suka dari martabak, gue bakal langsung jawab prosesnya. Bagaimana adonan bulat tersebut sampai berubah bentuk. Itu bener-bener brilian buat gue. Dan gue selalu nikmatin cara mereka memutar, membanting, dan melempar adonan sehingga bisa jadi sedemikian rupa. Mungkin nanti, suatu saat gue bakal belajar bikin martabak telur buat diri gue sendiri. Hehe
 
 
Yang kedua, gue pernah kepikiran buat buka SPBU. Yang ini gue akuin rada absurd. Tanpa alasan jelas gue dulu pernah kepikiran buat buka SPBU yang 100% jadi milik gue sendiri. Ide itu keluar begitu aja dari otak gue. Entah dari mana asalnya.
 
 
Jadi gue udah bikin 2 contoh ngga masuk akal, sama 2 contoh masuk akal. Sebenarnya gue punya banyaaaak banget keinginan semacam itu. Yang masuk logika ataupun ngga, Tapi kayanya cukup 4 diatas aja yang mewakili.
 
 
"Bagaimana dengan sekarang?"
 
 
Gue sadar kalo mimpi itu seperti balon gas. Seiring waktu berlalu, akan mulai kehilangan bentuk aslinya. Saat kecil dulu gue punya balon yang volumenya mungkin bisa menampung seluruh debit air sungai Cisadane. Tapi sekarang, 1 bak mandi aja kayanya masih tumpah-tumpah.
 
 
Tapi gue paham satu hal mengenai balon gas yang cukup membuat gue merasa lega, saat mereka mengecil karena berangsur-angsur kehilangan massa dari gas. Jika kita punya tabung untuk mengisi kembali gas tersebut. Kita bisa membuatnya kembali membesar. Iya betul.
 
 
Selalu ada kemungkinan. Selalu ada cara.
 
 
Yang perlu gue lakukan adalah, tidak perduli berapa balon gas yang sudah jatuh ke tanah. Gue hanya perlu menyimpannya. Jangan pernah membuangnya karena suatu saat nanti. Mungkin gue punya tabung untuk mengisi kembali balon tersebut.
 
 
"Aku ingin menghidupinya lagi karenamu, atau bersamamu."
 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beat Yourself.

Heloow~ Kemarin, tepatnya hari minggu gue abis ada pertemuan sama temen di komunitas gue. Wait... Komunitas? Iya buat yang belum tau, gue jadi salah satu volunteer di komunitas hijau di kota gue. Apa itu volunteer? Volunteer adalah sukarelawan, dia yang punya dedikasi terhadap suatu hal apapun itu dan mau mengerjakannya dengan sukarela tanpa   pamrih. Dia yang mau meluangkan waktu, tenaga, materi untuk kegiatan dengan ikhlas. Yaa, ehm, kaya gue gini. Cukup pengertian tentang volunteer, nanti gue dikira sombong lagi. Yang mau gue bahas disini adalah apa yang gue lakuin bareng mereka, maksud gue yang akan. Jadi kemarin itu kita ngebahas agenda untuk 3 bulan mendatang, Aksi apa aja yang bakal kita adakan untuk memperingati beberapa hari lingkungan kedepan. Seperti biasa, saat rapat berlangsung gue bersikap pasif. Gue emang kurang jago urusan ngomong dan jadi pusat perhatian di forum resmi kaya gitu. Tapi jangan salah ya, kalo disuruh ngomong depan gebetan sih gue u

Selenophile

Baiklah. 10 Agustus 2021 "Sepertinya memang sudah waktunya." Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun. Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah.  Sebuah doa klise yang tidak mungkin

Turbulensi

Beberapa jam sebelum hari kemarin berakhir gue udah hampir collaps. Dengan sederet kejadian mengejutkan yang gue alamin sedari pagi sampe sore yang bisa bikin migrain. Kejadian berantai, maksud gue. Karena hal itu gue jadi ngga bisa melakukan hal ini. Karena hal ini ngga bisa gue lakukan, hal itu akhirnya ngga jadi. Sesuatu semacam itu, kalian pasti paham lah.   Kebanyakan manusia beruntung di hari kelahirannya, ya gue tau itu opini gue aja. Meskipun cuman opini tapi gue yakin banget, soalnya banyak temen/seseorang yang gue tau. Dari cerita yang gue denger dari mereka, ataupun dari yang gue tau. Hoki mereka seakan berlipat. Dan itu yang jadi patokan gue dalam menilai hari kelahiran. Hari yang beruntung.   Tapi semesta punya rencana lain buat gue. Selalu begitu, Tuhan Maha Mengejutkan.