Langsung ke konten utama

Distorsi Parsial

"Bagaimana?" Sebuah tanya terlempar dari mulut Perempuan yang sedang berdiri di depanku.


"Ketika semuanya sudah bereaksi maksudmu? Kalau begitu biar aku jelaskan terlebih dahulu. Mengenai falsafah, makna asas, dan apa yang melatarbelakanginya."


Satu helaan nafas panjang, lalu aku mulai merapalkan jawaban yang dia pinta.


"Setuju atau tidak, aku berteori bahwa setiap dari seseorang selalu mempunyai seseorangnya masing-masing. Berkaca dari hakikat kita sebagai makhluk sosial dan kebutuhan diri dari masing-masing individu yang aku yakini semua orang bisa sepakat. Entah seseorang itu hidup pada dunia nyata, dunia fiksi, dunia mimpi. atau dunia lainnya. Manusia selalu punya seminimalnya satu orang sebagai pegangan dalam kehidupan ini.


Tidak mesti hidup, matipun bukan persoalan. Selama ikatan yang dimiliki terus terjalin dengan sempurna. Tidak melulu harus tetap pada satu, berganti-ganti merupakan hal wajar jika kiranya sudah tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Tidak juga perlu saling memiliki. Makna dari saling memiliki terlampau luas dan rumit. Jadi cukuplah dasar dari semua adalah ikatan kuat yang mampu menghidupi kita.


Dalam beberapa kasus antar individu, tidak jarang aku menjumpai sebuah tali yang tidak juga tegang dan tidak juga kendur. Ia teruntai dengan tenang tanpa interupsi dari kedua sisi.


Namun keadaan yang dinamis kadang mengganggu stabilitas dari pemikiran konservatif yang tertanam. Tatkala datang angin dalam kecepatan tinggi dari satu atau bermacam arah, mau tidak mau mengakibatkan resonasi terhadap seutas yang telah berkonsentrasi.


Dan, waktu bagi Perubahan sebagian yang mulai tampak selalu menjadi polemik bagi orang-orang awam. Sedikit dari kita tidak sadar akan transformasi benda tanpa wujud yang coraknya kian jelas tersebut, namun banyak juga yang sadar dan memahami betul bentuk pengendapan yang semakin padat terpampang.


Jika kamu bertanya ada dimana keberadaan entitas ini. Tidak pernah mudah, perlu identifikasi menyeluruh dengan variabel utuh. Untuk itu jawaban terbaikku adalah, sesuatu yang tidak bisa terdefinisi oleh serangkaian pernyataan dan seperti hanya bisa diwakilkan metafora semata. Masih berada pada kelas proletar dan memang bukan perkara yang penting atau hal yang harus dijadikan koordinat pada lautan lepas.



Tapi aku masih percaya bahwasanya tiap hasil yang diproduksi oleh komponen merepotkan bernama hati tidak serta merta bersifat mutlak dan mengikat. Kita tetap punya hak prerogatif terhadap serangkaian dopamine yang dipompa ke seluruh bagian tubuh secara harfiah. Mungkin sulit, tapi bukan berarti mustahil. Keniscyaan dari ketidakmungkinan tidak berlaku pada keadaan ini.


Salah satu parameter dan pemicu adalah bentuk keberadaan lakon yang pada kenyataannya selalu berhadapan langsung dengan garis perbatasan realitas. Yang secara substansi mendiskreditkan peran dan segala upaya yang telah dimaksimalkan oleh kita pada jauh hari sebelumnya. Disini hal tersebut condong ke arah rancu dan perlu dibedah lebih lanjut.


Sebagaimana yang perlu kita lakukan adalah, memberi katalis berupa sugesti murni tentang seseorang tersebut serupa apa yang kita inginkan. Sesering mungkin. Lebih rapat dari biasanya, guna tindakan preventif agar tidak terjadi suatu hal yang tidak kita kehendaki dalam waktu dekat.


Karena aku masih memiliki kepercayaan, bahwa sesuatu hal yang tidak kita izinkan muncul ke permukaan merupakan rekayasa dan proyeksi fatamorgana semata. Logika kita berada pada puncak hierarki pengendalian tubuh, jadi yang harus kita lakukan adalah mempelajari dan mengambil kuasa penuh atasnya.


Prosentasi hasil pengimplementasiannya bisa aku pastikan berada jauh diatas titik yang awalnya kita bisa bayangkan andai kata kita bisa menjejaki level tersebut.


Begitu."
 
Aku menjelaskannya dengan air muka payau. Tidak berharap Ia mengerti, tapi setidaknya tau kalau ini memang terlalu rumit untuk dijabarkan.


"Sudah larut, aku harus pergi menemui seseorangku.", Ucapan selamat tinggalku sebelum berdiri meninggalkannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beat Yourself.

Heloow~ Kemarin, tepatnya hari minggu gue abis ada pertemuan sama temen di komunitas gue. Wait... Komunitas? Iya buat yang belum tau, gue jadi salah satu volunteer di komunitas hijau di kota gue. Apa itu volunteer? Volunteer adalah sukarelawan, dia yang punya dedikasi terhadap suatu hal apapun itu dan mau mengerjakannya dengan sukarela tanpa   pamrih. Dia yang mau meluangkan waktu, tenaga, materi untuk kegiatan dengan ikhlas. Yaa, ehm, kaya gue gini. Cukup pengertian tentang volunteer, nanti gue dikira sombong lagi. Yang mau gue bahas disini adalah apa yang gue lakuin bareng mereka, maksud gue yang akan. Jadi kemarin itu kita ngebahas agenda untuk 3 bulan mendatang, Aksi apa aja yang bakal kita adakan untuk memperingati beberapa hari lingkungan kedepan. Seperti biasa, saat rapat berlangsung gue bersikap pasif. Gue emang kurang jago urusan ngomong dan jadi pusat perhatian di forum resmi kaya gitu. Tapi jangan salah ya, kalo disuruh ngomong depan gebetan sih gue u

Selenophile

Baiklah. 10 Agustus 2021 "Sepertinya memang sudah waktunya." Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun. Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah.  Sebuah doa klise yang tidak mungkin

Turbulensi

Beberapa jam sebelum hari kemarin berakhir gue udah hampir collaps. Dengan sederet kejadian mengejutkan yang gue alamin sedari pagi sampe sore yang bisa bikin migrain. Kejadian berantai, maksud gue. Karena hal itu gue jadi ngga bisa melakukan hal ini. Karena hal ini ngga bisa gue lakukan, hal itu akhirnya ngga jadi. Sesuatu semacam itu, kalian pasti paham lah.   Kebanyakan manusia beruntung di hari kelahirannya, ya gue tau itu opini gue aja. Meskipun cuman opini tapi gue yakin banget, soalnya banyak temen/seseorang yang gue tau. Dari cerita yang gue denger dari mereka, ataupun dari yang gue tau. Hoki mereka seakan berlipat. Dan itu yang jadi patokan gue dalam menilai hari kelahiran. Hari yang beruntung.   Tapi semesta punya rencana lain buat gue. Selalu begitu, Tuhan Maha Mengejutkan.