Langsung ke konten utama

Evlipse

Selepas menonton salah satu film paling sensasional di tahun 2018 beberapa hari lalu aku sepakat untuk menambahkan satu tempat lagi sebelum mengarah pulang. Tuntutan hawa malam yang cukup dingin dan keadaan perut yang ramai memaksa diriku untuk mencari sesuatu untuk bisa dijejalkan ke dalam. Dan yaa, rumah makan merupakan solusi paling manjur saat itu.

Jalanan sepi, memang sudah agak larut. Di Kota ini sulit untuk menemukan penjual makanan pada jam 22.30 di pertengahan minggu. Banyak ruko dengan spanduk bergambar makanan sudah tertutup rapat. Ada beberapa tenda penjaja nasi goreng, pecel lele dan pecel ayam, tapi malam itu aku sedang tidak ingin makan nasi. Jadilah aku urung mampir ke lapak mereka.


Setelah agak lama menyusuri jalan secara perlahan guna mengantisipasi pedagang di kiri kanan jalan. Tepat sebelum kendaraan ini sampai tempat berpulang beberapa puluh meter lagi. Secercah harapan samar-samar nampak berkilauan dari kejauhan. Di depan terlihat penjual bakso bandung yang tengah berhenti untuk alasan yang tidak aku ketahui. Lalu telah kuputuskan matang-matang kalau ia akan jadi pelampiasan di malam itu.


Lokasinya persis berada di pinggir jalan. Aku menyantap hidangan di atas trotoar menggunakan kursi plastik yang sepertinya memang sengaja ia bawa kemana-mana sebagai tempat duduk. Tiap suap ditemani kepulan asap rokok sang penjual yang duduk di depan gerobaknya. Lumayan enak, atau karena sedang lapar? Aku yakin jika asapnya berhembus ke arah lain rasa baksonya akan lebih enak.


Saat sedang di luar rumah tiap malam hari agenda wajib yang selalu aku lakukan adalah mendongakkan kepala ke atas. Sekedar mengecek keadaan dan situasi pada langit malam. Apa aku akan melihat sesuatu yang benderang disana atau malah mendapati hamparan gulita. Tidak pernah pasti, sesuatu kadang bisa berada disana tanpa kamu tahu. Jadi tugas kita adalah mengeceknya secara berkala. Memastikan ada atau tidaknya hal tersebut. Jadi malam itu saat volume mangkuk bakso berkurang setengahnya, aku melakukan ritual tersebut lagi. Melihat ke atas dan tentu saja ke arah utara langit.


Cantik, langit nampak bersih. Dan aku bisa menatap benda cemerlang yang berkelip. Cukup memuaskan mata mendapati sedikit dari tak terhingga yang ada disana.

Juga, malam itu aku teringat akan satu hal.

Belum lama ini, seantero dunia dibuat heboh oleh munculnya pemandangan langka yang terpampang di ujung kepala. Di langit lebih tepatnya. Supermoon langka 31 Januari 2018 merupakan salah satu rentetan fenomena langit pada tahun 2018.


Alih-alih melihat bentuk sempurnanya yang sudah aku idamkan dari seminggu sebelum. yang aku lihat pada malam itu hanya sehamparan buruk dari awan mendung yang secara sengaja menutupinya. Kesal. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak untuk menangkalnya. Jadilah sisa dari malam itu dipakai untuk merutuki keadaan dan melihat supermoon hanya melalui layar smartphone.


Beruntungnya, kamu bisa melihat langsung tepat kearahnya.


Aku akan mulai membicarakan seseorang yang malam itu membuatku iri berkepanjangan dengan kesengajaannya melihat supermoon, juga kalimat tambahan setelahnya yang tentu saja membuat frustasi. Padahal aku yang menantikan pemandangan itu sedari lama. Tapi kenyataan seolah bertindak selayaknya kenyataan yang biasanya, kembali berbanding terbalik dibandingkan keinginan yang terus menggema.


Bukan kali pertama, walaupun sudah mencoba membiasakan diri. Tetap saja ada sebagian kecil yang tidak bisa merelakan dengan mudah dan membutuhkan waktu.

Yasudahlahhh...


Mari kembali lagi kepadamu,


Setelah bertahun-tahun bercengkerama mulai dari frame kacamata itu berwarna merah, kemudian berganti, lalu digantikan dengan yang satunya, lalu sekarang berganti lagi menjadi warna putih dengan ornamen gold yang aku sebut kurang cocok kemarin. Lambat laun, ada begitu banyak trademark mengenai kita dalam waktu belakangan yang entah tertata dengan sengaja atau tidak. Kala ujung dari suara bertemu dan mendekap kalimat dengan lekat. Barisan kata yang terlontar tanpa ragu. Juga dalam tiap kejadian yang secara spontan sanggup terdeskripsi, meski tidak semuanya. Tapi kiranya lebih dari cukup untuk sekarang.


Aku akan menamainya seni memiliki tanpa mengikat, terimakasih sudah mengambil peran utama disana. Kamu melakukannya dengan sempurna walau tanpa teks untuk dibaca.


Lalu pada akhirnya seperti biasa, di penghujung tulisan ini tentu aku akan mengucapkan selamat kepadamu pada hari yang spesial untukmu dan tanggal favorit kita.


Bukan atas berkurangnya umur, maupun pencapaian yang kamu raih, juga keberhasilan yang telah terjadi, atau karena bermacam jenis lainnya yang akan teman-temanmu sebutkan disela ucapan mereka yang membosankan.


Aku memberimu selamat, karena kamu telah menjadi dirimu sendiri di umur yang telah ke sekian. Hal sulit yang sudah dan akan terus kamu lakukan.



Jangan pernah melupakan satu hal, ketahuilah jika kamu selalu luar biasa di kehidupan ini.


Selamat tanggal 8 April yang dinanti.
Maaf, belum bisa menepati janji.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beat Yourself.

Heloow~ Kemarin, tepatnya hari minggu gue abis ada pertemuan sama temen di komunitas gue. Wait... Komunitas? Iya buat yang belum tau, gue jadi salah satu volunteer di komunitas hijau di kota gue. Apa itu volunteer? Volunteer adalah sukarelawan, dia yang punya dedikasi terhadap suatu hal apapun itu dan mau mengerjakannya dengan sukarela tanpa   pamrih. Dia yang mau meluangkan waktu, tenaga, materi untuk kegiatan dengan ikhlas. Yaa, ehm, kaya gue gini. Cukup pengertian tentang volunteer, nanti gue dikira sombong lagi. Yang mau gue bahas disini adalah apa yang gue lakuin bareng mereka, maksud gue yang akan. Jadi kemarin itu kita ngebahas agenda untuk 3 bulan mendatang, Aksi apa aja yang bakal kita adakan untuk memperingati beberapa hari lingkungan kedepan. Seperti biasa, saat rapat berlangsung gue bersikap pasif. Gue emang kurang jago urusan ngomong dan jadi pusat perhatian di forum resmi kaya gitu. Tapi jangan salah ya, kalo disuruh ngomong depan gebetan sih gue u

Selenophile

Baiklah. 10 Agustus 2021 "Sepertinya memang sudah waktunya." Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun. Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah.  Sebuah doa klise yang tidak mungkin

Turbulensi

Beberapa jam sebelum hari kemarin berakhir gue udah hampir collaps. Dengan sederet kejadian mengejutkan yang gue alamin sedari pagi sampe sore yang bisa bikin migrain. Kejadian berantai, maksud gue. Karena hal itu gue jadi ngga bisa melakukan hal ini. Karena hal ini ngga bisa gue lakukan, hal itu akhirnya ngga jadi. Sesuatu semacam itu, kalian pasti paham lah.   Kebanyakan manusia beruntung di hari kelahirannya, ya gue tau itu opini gue aja. Meskipun cuman opini tapi gue yakin banget, soalnya banyak temen/seseorang yang gue tau. Dari cerita yang gue denger dari mereka, ataupun dari yang gue tau. Hoki mereka seakan berlipat. Dan itu yang jadi patokan gue dalam menilai hari kelahiran. Hari yang beruntung.   Tapi semesta punya rencana lain buat gue. Selalu begitu, Tuhan Maha Mengejutkan.