Langsung ke konten utama

Insiden Hidup Mati

Seumur-umur, baru hari ini (18 November 2017, Dini hari) gue bisa menyaksikan sendiri detik kematian. Tepat di dekapan gue, di tangan gue, di hadapan mata kepala gue sendiri. Salah satu momen mencengangkan yang ngga bakalan bisa gue lupain. Sebagai pengingat betapa berharganya nyawa seorang manusia yang udah dititipkan oleh Sang Pemilik Seluruh Kehidupan.


Rekaman kejadian masih sangat segar saat gue menulis catatan ini, segala yang ada di tempat kejadian perkara tadi bisa terbayang dengan jelas bahkan tanpa gue harus menutup mata. Saat doa terbaca dengan khidmat tanpa perlu gue komandoi, tanpa rencana, semoga-semoga mengucur deras mengisi seluruh ruangan dari setiap insan yang berada disana. Mengerubungi langit-langit.


Kehidupan dan kematian berkolaborasi menghadirkan pertunjukan dramatis tanpa skenario yang sukses menyedot perhatian puluhan pasang mata. Jauh, jauh lebih mendebarkan dari yang pernah gue bayangkan.

Syukur terucap dari hati, dirinya belum diizinkan pergi.


_____________________________________________________________



“Oksigen” Ngga fungsi,

“CPR?” Yakin?

“Nafas buatan?” Entah,

Rentetan solusi berupa cara pertolongan pertama gue lontarkan dengan nada khawatir, walaupun tanpa eksekusi berarti kecuali oksigen yang emang udah kita pakai dan tidak ada kemajuan berarti. Gue terus mengucapkan kalimat tersebut, walaupun belum pernah sekalipun mempraktekkan. Semata-mata guna mengingatkan kepada orang di sekitar, kalau kita tidak melakukan apa-apa. Seseorang akan tamat tidak lama lagi.

Fokus gue terkunci pada tubuh yang berada di pangkuan gue selama kurang lebih 15 menit ini. Jemari gue tidak terlepas dan selalu memegang erat pergelangan tangannya. Telunjuk tangan kanan gue posisikan tepat berada di urat nadi. Memastikan dia tetap berada disana.

Benar-benar gila. Pada sore harinya gue baru aja mengutuk seseorang yang mengendarai  mobil SUV agar dia mengalami sesuatu yang buruk karena pengemudi itu menyetir dengan cara mengerikan. Tapi saat ini gue dihadapi dengan kemungkinan terburuk dari ucapan yang mungkin terjadi kepada pengemudi itu. Di hadapan gue sendiri.


“We lost him.”

Gue berujar dengan nada yang bergetar, melemparkan pandangan kepada wanita yang tepat berada disebelah kiri gue saat itu. Seorang yang sedari tadi berusaha dengan sungguh-sungguh untuk berkomunikasi dengannya. Memberikan apapun yang ia mampu demi keselamatan laki-laki bertubuh besar ini. Tapi sekeras apapun ia mencoba, yang gue tau saat itu, kita kehilangan dia. Bom waktu itu sepertinya telah meledak.


Lengan kiri gue yang sedari tadi menopang kepalanya agar tetap berada pada posisi yang seharusnya mulai kehilangan tenaga. Tidak kuat lagi, bebannya terlalu berat walaupun di seberang sana juga ada yang menopang persis seperti yang gue lakuin. Tapi masa bodoh, meski lengan ini harus hancurpun gue ngga akan berganti posisi. Karena sedang ada taruhan yang secara tidak sengaja mengikutsertakan gue, dan taruhan itu meminta bayaran berupa nyawa. Tanpa merasakan semua itu, gue teguh pada pose menopang untuk waktu yang lebih lama lagi. Mencoba melakukan terbaik yang bisa gue lakukan. Sesuai intruksi perempuan yang suaranya seakan menghilang ditelan ketakutan. Gemetarnya merasuk ke pikiran seluruh orang, meskipun ia terus menyuntikkan kalimat positif.


Come on big boy! Breathe!!!

Beberapa detik gue tercekat dengan kenyataan, apa ini akhirnya? Gue meracau melemparkan kalimat supportif yang gue gak tau apa dia bisa denger atau ngga. Karena saat itu telunjuk gue tidak merasakan denyutan apa-apa. Dan dadanya berhenti bergerak. Jantung gue memanas. Sensasi seperti ini, belum pernah gue rasakan.


Tapi tidak lama kemudian gue bisa merasakan denyut itu kembali, perlahan. Lemah sekali, gue harus berkonsentrasi penuh untuk  menangkap ritmenya. Oksigen portabel terus diberikan, minyak kayu putih dibalurkan hampir ke seluruh dadanya. Air hangat sudah digunakan. Entah itu tindakan benar atau tidak, gue hanya bisa menyerahkan semua kepada seseorang yang pernah mengambil jurusan kesehatan ini.


Dia kembali, lalu pergi lagi. Lalu kembali lagi. Kemudian menghilang, dan hadir lagi. Seperti mempermainkan dan mengejek gue. Ada sekitar 5x atau mungkin lebih ruhnya hilir mudik secara tidak sopan di depan gue. Kurang ajar memang, tidak tau apa kalo gue juga ikut-ikutan hampir mati karena jadi saksi peristiwa mengerikan tersebut.


Detik semakin cepat. Waktu menghantam kepercayaan diri masing-masing dari kita menuju titik terendah, menyeret harapan ke tepian jurang. Memaksa kita memikirkan kemungkinan terburuk di pagi itu. Mengenai tajuk portal berita dan koran setempat yang akan berhiaskan nama-nama kita pada keesokan harinya.


“Seseorang panggil ambulans, atau benda apapun untuk membawa dia ke rumah sakit.”

Agak kesal gue, walaupun tempat itu semakin ramai. Mereka seperti hanya menyaksikan dan berbisik-bisik pelan. Keadaan semakin genting. Kita ngga tau sampai kapan kita bisa menahan dia, kita juga tidak punya jaminan berarti apakah kondisi dia akan bertambah baik atau malah memburuk. Temen gue yang akhirnya lari ke tepi jalan raya untuk mencari taksi pada jam 3 di pagi hari. Tujuannya tentu, rumah sakit.


Pada saat semuanya semakin kelam, akhirnya yang dinanti sedari tadi tiba. Butuh lebih dari 5 orang untuk membantu mengangkat laki-laki ini ke kursi belakang taksi biru yang dari gue perhatiin pengemudinya sudah paham situasi yang sedang berlangsung. Ada kemungkinan temen gue udah menjelaskan singkat.


Pasien sudah masuk, langsung lah kita tancap gas menuju rumah sakit umum yang untungnya tidak terlalu jauh dari lokasi kejadian. Mereka meluncur, dengan 3 orang di mobil untuk mengantar. Gue menyusul mengendarai motor dengan dibonceng salah seorang teman.


Di ruang IGD tersebut harap-harap cemas menggelora, mendoakan seseorang yang bahkan belum gue kenal dengan begitu hebatnya. Memang benar ternyata dinding rumah sakit selalu mendengar lebih banyak dari yang telah di dengar dinding rumah ibadah. Saat ini gue percaya salah satu kutipan yang gue baca dari internet itu.


Tidak bisa tidak, perhatian gue saat itu 100% tercurah kepada seseorang yang sedang berbaring dibalik tirai di depan. Dengan diiringi suara banyak mesin dan langkah kaki para perawat ataupun dokter. Semua sempurna, serupa simfoni kematian yang terdengar sampai ke gendang telinga lalu naik ke otak. Meruntuhkan sekaligus membangun harapan.


Sembari membatu, gue terus memperhatikan layar mesin yang memperlihatkan aktivitas jantungnya. Naik turunnya  gue tatap dengan seksama. Ingin rasanya gue menenangkan wanita yang berada di sebelah gue saat ini. Tapi bagaimana bisa gue menenangkan orang lain sedangkan gue pun tidak bisa menenangkan diri sendiri.


“Lurus, lurus, shittt.”

Garis itu tidak menunjukkan dinamika seperti yang kita harapkan. Jantungnya melemah, denyutnya kembali menjauh. Gue berani bertaruh kalo apa yang gue rasakan beberapa menit lalu terulang lagi tapi ini agaknya lebih lama dari sebelumnya. Gue berdiri kaku, tidak bisa beranjak. Kaki gue seperti mengakar pada lantai. Mungkinkah...


Pikiran negatif gue menyeruak secara liar, bagaimana bisa apa yang seharusnya menyenangkan dapat berakhir dengan tragis. Apa yang akan orang tuanya katakan, mengapa bisa gue jadi saksi mata kejadian seperti ini. Bahkan dimimpi pun gue belum pernah. Gue menyesali keterlambatan kita untuk membawanya ke tempat yang semestinya. Kenapa bisa gue sebodoh itu, bermain-main dengan hidup seseorang. Semua melayang bebas, suasana abu-abu pekat menggantung di mata gue.


Sampai akhirnya ia kembali. Lagi. Garis itu kembali naik turun. Gue menancapkan sorot ke arah layar, sedikit demi sedikit semakin menguat. Entah apa yang mereka lakukan di dalam tirai sana, yang pasti gue seneng bukan main. Terimakasih untuk kalian dan kalian.


Gue memutuskan keluar menghampiri beberapa orang teman yang menunggu saat gue benar-benar yakin kondisi dia telah stabil. Sudah 100% hidup. Melewati fase kritis yang berupa ambang batas antara dua dunia. Pada akhirnya ia berhasil tersadar, setelah perjuangan panjang yang melelahkan.


Beberapa menit gue berbincang diluar mengenai ini dan itu, menjelaskan ke mereka kalau ternyata ini masalah jantungnya yang lemah yang mengakibatkan dia bisa seperti tadi. Gue yakin dia pasti keletihan oleh kegiatan yang sedang mereka adakan. Sebenarnya gue punya banyak pertanyaan buat dia. Tapi sebisa mungkin gue tahan, mengingat kondisi dia yang masih baru siuman. Belum lama tadi dia mungkin bertemu dengan malaikat maut yang menyeringai, tapi takdirnya untuk pergi ternyata bukan di hari ini.


“Lu udah bikin gue hampir jantungan tau gak.”

Lirih gue pelan diiringi senyum simpul sembari menepuk kakinya. Dan dengan mata yang hampir berkaca-kaca karena lega semuanya telah berakhir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beat Yourself.

Heloow~ Kemarin, tepatnya hari minggu gue abis ada pertemuan sama temen di komunitas gue. Wait... Komunitas? Iya buat yang belum tau, gue jadi salah satu volunteer di komunitas hijau di kota gue. Apa itu volunteer? Volunteer adalah sukarelawan, dia yang punya dedikasi terhadap suatu hal apapun itu dan mau mengerjakannya dengan sukarela tanpa   pamrih. Dia yang mau meluangkan waktu, tenaga, materi untuk kegiatan dengan ikhlas. Yaa, ehm, kaya gue gini. Cukup pengertian tentang volunteer, nanti gue dikira sombong lagi. Yang mau gue bahas disini adalah apa yang gue lakuin bareng mereka, maksud gue yang akan. Jadi kemarin itu kita ngebahas agenda untuk 3 bulan mendatang, Aksi apa aja yang bakal kita adakan untuk memperingati beberapa hari lingkungan kedepan. Seperti biasa, saat rapat berlangsung gue bersikap pasif. Gue emang kurang jago urusan ngomong dan jadi pusat perhatian di forum resmi kaya gitu. Tapi jangan salah ya, kalo disuruh ngomong depan gebetan sih gue u

Selenophile

Baiklah. 10 Agustus 2021 "Sepertinya memang sudah waktunya." Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun. Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah.  Sebuah doa klise yang tidak mungkin

Turbulensi

Beberapa jam sebelum hari kemarin berakhir gue udah hampir collaps. Dengan sederet kejadian mengejutkan yang gue alamin sedari pagi sampe sore yang bisa bikin migrain. Kejadian berantai, maksud gue. Karena hal itu gue jadi ngga bisa melakukan hal ini. Karena hal ini ngga bisa gue lakukan, hal itu akhirnya ngga jadi. Sesuatu semacam itu, kalian pasti paham lah.   Kebanyakan manusia beruntung di hari kelahirannya, ya gue tau itu opini gue aja. Meskipun cuman opini tapi gue yakin banget, soalnya banyak temen/seseorang yang gue tau. Dari cerita yang gue denger dari mereka, ataupun dari yang gue tau. Hoki mereka seakan berlipat. Dan itu yang jadi patokan gue dalam menilai hari kelahiran. Hari yang beruntung.   Tapi semesta punya rencana lain buat gue. Selalu begitu, Tuhan Maha Mengejutkan.