Baiklah. 10 Agustus 2021 "Sepertinya memang sudah waktunya." Terbersit kata-kata itu di benakku sepulang dari kediaman Bapak Sekdes, awalnya aku kira kalimat itu hanya sekedar pemikiran yang spontan dan biasa. Seperti saat aku memikirkan bagaimana bisa seorang temanku sering datang terlambat padahal rumahnya dekat atau saat aku berencana meminta camilan di meja seorang rekan kerja untuk meredam lapar di sore hari . Aku melihat itu hanya pikiran biasa dan tidak memiliki arti apapun. Sore itu dalam perjalanan pulang berlatarkan matahari yang menggantung dan terus turun ke arah barat bumi. Sinarnya melemah seiring menit berlalu, aku merasakan waktu sangat cepat menyeret gelap muncul yang dimulai dari timur langit merembet perlahan memenuhi angkasa. Cahaya meredup sayup-sayup. Saat pertama aku tanpa sadar merapal harap agar gelap tidak menampakkan dirinya terlebih dahulu dan bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin lebih lama lagi, tolonglah. Sebuah doa klise yang tidak mungkin
Aku sering mengatakan padamu bahwa selalu ada yang pertama kali dalam hidup kita, apapun itu entah dalam melakukan atau merasakan. Dan selayaknya pertama tentu erat dengan kesalahan dan kepayahan. Tidak perduli seberapa banyak teori yang sudah kita hapal, sesekali keadaan tidak melulu persis seperti apa yang kita baca. Banyak variabel menggantung mengenai apa dan apa yang hadir diluar prediksi kita. Hal normal dan biasa. Lalu kesalahan yang kita alami pada percobaan pertama menuntun kita pada pembekalan pendewasaan untuk menghadapi hal semacam itu lagi dan lagi pada kemudian hari. “Ini pertama kali buat aku, jadi maaf kalo aku tidak tau harus seperti apa.” Aku mendengarnya sembari memicingkan mata sedikit ke arah atas. Mencoba menggapai sedikit ingatan saat aku berada di posisimu sekarang. Sedikit saja, jangan terlalu banyak. Sungguh aku tidak bermaksud mengingat subjeknya, yang aku lihat hanya objek saat itu. Perasaanku sendiri. Semua tampak lebih mudah saat aku menjal